Selasa, 23 Agustus 2011

Upaya Indonesia pertahankan multikulturalisme

oleh Testriono
01 Juli 2011



Jakarta – Berbagai kasus intoleransi beragama di Indonesia belakangan ini telah membuat sebagian pengamat khawatir kalau pujian Presiden AS Barack Obama terhadap toleransi beragama di Indonesia saat lawatannya ke Indonesia November 2010 cumalah dilebih-lebihkan. Berbagai pernyataan warga masyarakat dan keputusan pejabat pemerintah telah ikut menyudutkan kelompok agama minoritas dan memperburuk konflik antara kelompok agama minoritas dan warga Muslim Sunni yang merupakan mayoritas di beberapa komunitas.

Para pejabat negara sekarang sering melihat isu kebebasan beragama melalui kacamata kepentingan politik tertentu. Misalnya, belakangan pemerintah sudah kian sering menekan dan meminggirkan kelompok agama minoritas. Upaya yang dilakukan pemerintah cukup beragam, mulai dari melarang praktik ibadah atau praktik keagamaan dan membatasi pintu masuk untuk mendapat pekerjaan berdasarkan aturan berpakaian, hingga menolak memberi izin pembangunan tempat ibadah dan menerapkan tafsiran syariat Islam yang konservatif. Para pejabat pemerintah secara keliru mengira kalau aksi-aksi ini akan bisa meredakan konflik dan mendongkrak popularitas mereka.

Sejak merdeka pada 1945, Indonesia telah mempersilakan para penganut dari berbagai macam agama untuk mengamalkan agama mereka. Meskipun penduduk Indonesia mayoritasnya Muslim, berbagai agama dan aliran Islam yang berbeda bisa hidup berdampingan secara damai. Selama berabad-abad, masjid-masjid Sunni dan Syiah berdiri di dekat kuil-kuil Budha dan Hindu (yang beberapa di antaranya dibangun pada abad ke-9) dan sejumlah gereja Kristen (yang beberapa di antaranya dibangun pada abad ke-17). Bahkan aliran Ahmadiyah, yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad dari India, dan masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20, relatif tidak pernah mendapat gangguan hingga beberapa tahun belakangan.

Untungnya, toleransi beragama di Indonesia bukanlah hanya wewenang pemerintah, dan ada kelompok-kelompok masyarakat yang secara aktif mencoba mengisi celah. Kendati ada tren mengkhawatirkan di kalangan pemerintah untuk berlepas diri dari konflik di antara kelompok-kelompok agama, alih-alih menanganinya, kita tidak boleh melupakan adanya banyak prakarsa membangun yang sedang berjalan di Indonesia, yang ingin menjembatani perpecahan di antara berbagai komunitas agama, entah sifatnya antaragama ataupun internal agama.

Penghargaan perlu diberikan kepada organisasi-organisasi masyarakat sipil karena mereka kini menjadi pilar kerukunan agama di Indonesia. Pada Maret 2011, misalnya, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta, bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kanada, menggelar sebuah konferensi internasional di Jakarta untuk mendorong multikulturalisme di Asia Tenggara. Konferensi yang dihadiri oleh cendekiawan dari berbagai negara di Asia Tenggara, Kanada serta Australia ini, menjadi sebuah kesempatan untuk berbagi pengalaman dalam hal praktik multikulturalisme, dan telah membangkitkan minat untuk melakukan upaya bilateral ataupun multilateral guna menyatukan kekuatan dan melawan radikalisasi yang muncul.

Di lapangan, multikulturalisme juga sedang didorong melalui program-program pelatihan di sekolah-sekolah keagamaan. Program-program ini memberi para guru maupun murid berbagai pengalaman merasakan kemanusiaan bersama dalam kehidupan sehari-hari kita. Program-program ini dijalankan oleh para aktivis masyarakat sipil dari lembaga-lembaga seperti Yayasan Paramadina (yayasan yang banyak berkecimpung dalam dunia pendidikan) yang bekerjasama dengan The Asia Foundation, organisasi non-pemerintah yang berkomitmen pada pembangunan kawasan Asia-Pasifik yang damai dan sejahtera, dan Karuna Bali Foundation, organisasi non-pemerintah yang memberi orang-orang di Bali dan tempat lain kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan mengembangkan diri.

Lebih dari 300 guru telah mereka latih mengenai teknik untuk mendorong nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti cinta, perdamaian dan penghargaan dalam kurikulum sekolah mereka masing-masing. Nilai-nilai positif adalah salah satu dasar bagi perkembangan mental anak-anak, dan dalam suatu lingkungan yang sadar nilai dan saling menghargai, para murid bisa mengembangkan minat dan kemampuan mereka untuk bekerja demi perdamaian, menghormati orang lain dan menghindari kekerasan.

Organisasi-organisasi masyarakat sipil di Indonesia terus melahirkan berbagai gagasan dan prakarsa baru untuk menopang dan mempertahankan kerukunan beragama. Kendati kelompok-kelompok radikal terkadang masih mengganggu ketertiban, mereka menghadapi perlawanan luar biasa dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mencintai negara mereka, ingin hidup secara rukun dan bekerja tanpa mengenal lelah mendorong multikulturalisme dalam masyarakat.

Organisasi-organisasi masyarakat sipillah yang banyak bekerja mengubah kebijakan pemerintah yang melenceng dari prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan dan HAM. Pujian Obama sudah semestinya dialamatkan kepada mereka.

###

* Testriono ialah peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 1 Juli 2011, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh izin publikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar