Minggu, 27 Mei 2012

Logika Kekerasan Berjubah Agama

Testriono
PENELITI DI PUSAT PENGKAJIAN ISLAM DAN MASYARAKAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA

Koran Tempo, Rabu 23 Mei 2012

Kekerasan terus menjadi bahasa intoleransi sejumlah organisasi massa Islam. Dengan klaim melawan ajaran sesat, mereka menghancurkan masjid dan properti milik minoritas Ahmadiyah. Atas nama mayoritas, mereka menutup pendirian gereja. Baru-baru ini, karena tak menyetujui orientasi seksual Irshad Manji, mereka membubarkan diskusi buku feminis muslim asal Kanada itu. Dan banyak lagi contoh lainnya.

Mereka menampilkan apa yang disebut oleh Ian Douglas Wilson (2008) sebagai "preman Islam". Mereka menggunakan pemaksaan dan kekerasan dengan memanipulasi sentimen serta isu-isu Islam untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka. Semestinya monopoli penggunaan kekerasan hanya milik negara. Sebab, negaralah yang, menurut konstitusi, punya wewenang menegakkan hukum dan keteraturan sosial. 

Ada dua penjelasan mengapa kekerasan ormas terus terulang. Pertama, kapasitas negara yang memang lemah sehingga tanpa sengaja membuat wewenang monopoli kekerasan itu terbagi kepada sipil. Bahayanya, kata sosiolog Jerman, Max Weber (1946), tanpa ada institusi resmi yang mampu memonopoli kekerasan, negara akan runtuh dan muncul anarki.

Kedua, belakangan makin kentara bahwa yang dihadapi bangsa ini ternyata bukan semata negara yang loyo, tapi negara yang sengaja memberi peluang bagi kelompok tertentu mengintimidasi dan memberangus hak-hak kelompok lain dengan kekerasan. Pendeknya, meminjam parafrasa sejarawan Fernand Braudel (1966), "Di balik para bandit, ada bantuan dari oknum aparat negara."

Buktinya adalah sikap selektif aparat keamanan dalam menangani berbagai aksi kekerasan ormas. Polisi begitu tangkas menindak tegas jaringan terorisme dan narkoba. Tapi polisi bungkam terhadap ormas-ormas Islam tertentu yang mengancam dan menyerang kelompok lain. Karena itu, keliru menganggap aksi-aksi intoleransi yang belakangan marak itu sebagai aksi spontan yang tak memiliki dimensi logis. Alasannya jelas. 

Pertama, aktor-aktor yang ambil bagian dalam kekerasan itu terlibat dalam organisasi tertentu, seperti Front Pembela Islam (FPI). Berbaju ormas, aksi kekerasan itu tentu bukan tanpa perencanaan. Ada instruksi, mobilisasi, dan strategi yang membuat aksi kekerasan tersebut berlangsung mulus. 

Kedua, aksi-aksi kekerasan itu dilakukan karena ada peluang yang tepat. Sebagaimana temuan Julie Chernov Hwang (2009), ketika aparat keamanan mengambil tindakan tegas secara hukum, mobilisasi kekerasan akan berkurang. Tapi, ketika polisi diam saja, aksi kekerasan cenderung meningkat, seperti terasa belakangan ini. 

Ketiga, para pelaku kekerasan, terutama para pemimpinnya, memperoleh keuntungan dari aksi-aksi yang mereka lakukan. Karena tak tersentuh hukum, para pelaku kekerasan itu semakin kuat secara sosial, ekonomi, dan politik. Organisasi mereka makin ditakuti dan berdaya tawar tinggi. Beberapa pejabat pemerintah, misalnya, kerap kali menghadiri acara-acara yang diselenggarakan oleh FPI. Dan bukan rahasia lagi jika ormas ini mendapat dukungan finansial dari makin banyaknya jasa parkir dan keamanan yang mereka kuasai.

Pemolisian demokratis

Celaka besar bagi bangsa ini bila benar negara bertekuk lutut pada kuasa ormas radikal. Pembiaran, dengan alasan kalah jumlah atau menghindari konflik yang lebih besar, membuktikan bahwa negara kalah menghadapi aksi kekerasan ormas. Mengikuti kehendak ormas, seperti membubarkan diskusi buku Irshad Manji di Salihara beberapa waktu lalu, hanya menjustifikasi adanya persekongkolan jahat oknum aparat dengan ormas radikal. Kriminalisasi korban, seperti dalam kasus Ustad Tajul Muluk, tokoh Syiah di Sampang, Madura, adalah pengkhianatan terhadap tugas polisi sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat.

Meski demikian, menghadapi maraknya kekerasan ormas ini, polisi harus tetap menjadi tumpuan harapan bagi tegaknya hukum dan keamanan. Sebab, merekalah satu-satunya institusi negara yang diberi wewenang menjaga keamanan dan ketertiban. Tapi harapan itu hanya mungkin terwujud jika polisi bersedia mereformasi dan mendemokratisasi dirinya, setidaknya dalam dua hal.

Yang paling utama adalah memperkenalkan dan melembagakan praktek pemolisian demokratik di tubuh institusinya. Lima prinsip yang mendasari praktek ini, menurut Nathan W. Pino (2006), adalah rule of law, legitimasi, transparansi, akuntabilitas, dan tunduk pada otoritas sipil. Demokratisasi terasa timpang karena institusi kepolisian tak juga melakukan langkah-langkah strategis menuju pemolisian demokratis. 

Contohnya, sikap polisi terhadap kasus-kasus kebebasan beragama masih condong pada kepentingan kelompok yang mengancam keselamatan dan kebebasan kaum minoritas ketimbang melindungi mereka. Padahal semestinya polisi menjunjung tinggi rule of law, menjaga hak-hak individu yang dijamin konstitusi, bukan malah berpihak pada kelompok tertentu. Ormas radikal, perusuh, atau provokator akan mati kutu jika polisi menerapkan pemolisian demokratik ini.

Berikutnya adalah memperkuat pendidikan kepolisian dengan materi bina damai. Harus diakui polisi lebih terlatih menggunakan senjata ketimbang menggunakan cara-cara pasif dalam menyelesaikan konflik di masyarakat. Karena itu, melatih kemampuan memediasi bentrokan sosial secara damai dan menginstitusionalisasi pendidikan bina damai di tubuh kepolisian selayaknya menjadi salah satu fokus reformasi kepolisian. 

Masyarakat sangat berharap aparat negara bergigi, dengan tampil tegas dan demokratis, dalam menghadapi aksi kekerasan kelompok-kelompok yang disebut oleh Buya Syafi'i Ma'arif sebagai preman berjubah agama itu. Dengan demikian, kita bisa yakin bahwa Indonesia bukan negeri para bandit, dengan sekelompok orang yang bisa bebas berkeliaran menebar ancaman dan kekerasan sambil meneriakkan nama Tuhan.

Sumber: http://koran.tempo.co/konten/2012/05/23/274919/Logika-Kekerasan-Berjubah-Agama

Senin, 09 April 2012

Faktor penting keberhasilan pendirian gereja di Indonesia

oleh Testriono
10 Februari 2012
Sumber: http://www.commongroundnews.org/article.php?id=30978&lan=ba&sp=0


Jakarta, Indonesia – Di Bogor, jemaat GKI Yasmin telah dilarang oleh pemerintah setempat untuk menyelenggarakan kebaktian di gereja mereka selama bertahun-tahun. Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa pembatalan izin gereja tersebut melanggar hukum. Namun, GKI Yasmin dan banyak gereja serupa tidak mendapat perlindungan dari gangguan sekelompok orang, yang meski kecil tetapi cukup vokal, yang telah mencoba menghalangi gereja-gereja mendapatkan izin mendirikan bangunan tempat ibadah – dan dalam beberapa kasus telah menggalang massa untuk menyerang gereja dan jemaatnya.

Kasus GKI Yasmin memang mengganggu, namun tidak menggambarkan keadaan semua gereja di negara ini. Di seantero Indonesia, ada banyak gereja yang berhasil mendapatkan izin pembangunan gereja, dan jemaatnya beribadah dengan tenang di tengah masyarakat yang majemuk dari segi agama yang dianut. Mereka yang berupaya menyelesaikan masalah di Bogor ini bisa mencontoh hubungan antaragama di masyarakat-masyarakat yang telah bisa meredam ketegangan agama.

Sebuah laporan penelitian 2011 bertajuk “Kontroversi Pendirian Gereja di Jakarta dan Sekitarnya” dirilis oleh tim peneliti dari Yayasan Paramadina, sebuah organisasi masyarakat sipil yang membidangi toleransi agama, serta beberapa LSM yang memiliki misi serupa. Penelitian ini mengungkap berbagai faktor yang mengakibatkan adanya hubungan antaragama yang konstruktif dan berbagai situasi di mana gereja berhasil mendapatkan izin pendirian. Cerita-cerita sukses – tentang 7 dari 13 kasus pendirian gereja yang diteliti – memperlihatkan bahwa ada tiga faktor penting agar jemaat gereja bisa membangun gereja tanpa merasa takut. Gereja-gereja, dan juga para tokoh agama dan politik, bisa belajar dari cerita-cerita sukses ini.

Faktor pertama adalah dukungan dari pemerintah setempat dan kepolisian. Mereka memiliki wewenang untuk menerima atau menolak pengajuan izin pendirian gereja dan menghentikan massa yang ingin mengganggu proses pembangunan gereja. Dalam kasus GKI Terang Hidup Jakarta misalnya, kepolisian setempat memfasilitasi dialog antara panitia pembangunan gereja dan kelompok-kelompok yang menentang pembangunan gereja tersebut. Kepolisian juga memberikan pengamanan dan menginformasikan masyarakat sekitar tentang proses ini.

Faktor kedua adalah dukungan dari tokoh agama setempat. Misalnya, dalam kasus gereja St. Mikael Bekasi, panitia pembangunan gereja mendekati seorang tokoh Muslim yang memiliki banyak pengikut di daerah itu. Pendekatan ini berhasil menciptakan hubungan baik dan mengubah sikap tokoh ini untuk mendukung pendirian gereja tersebut. 

Faktor ketiga adalah keberhasilan dialog dengan masyarakat Muslim di daerah sekitar untuk menghindari kesalahpahaman dan untuk menegaskan bahwa gereja tersebut tidaklah dibangun untuk memfasilitasi kristenisasi terhadap umat Muslim, tetapi untuk digunakan oleh anggota gereja saja. Semua gereja yang sukses didirikan yang diteliti bisa meyakinkan masyarakat sekitar bahwa pembangunan gereja tidak dimaksudkan untuk memurtadkan umat Muslim. 

Misalnya, ketika gereja St. Albertus Bekasi dibangun, panitia pembangunan gereja mengajak masyarakat sekitar, aparat pemerintah setempat dan kepolisian untuk mengadakan sejumlah dialog. Pendekatan yang berulang ini perlahan meyakinkan masyarakat sekitar untuk bisa mendukung pendirian gereja tersebut.

Ini adalah beberapa faktor penting untuk memelihara hubungan baik antara kelompok mayoritas agama dan kelompok minoritas – dan semestinya dipublikasikan secara lebih luas. Faktor-faktor ini bisa juga berlaku untuk kesuksesan pendirian masjid di daerah-daerah mayoritas Kristen.

Penting pula bagi panitia pembangunan untuk mengantisipasi respon dari organisasi keagamaan yang konservatif, yang dalam banyak kasus menolak pendirian gereja. Organisasi-organisasi ini, meski sedikit jumlahnya, terus menyuarakan sikap menentang di tempat-tempat tertentu dan memobilisasi warga untuk menentang gereja yang sedang dibangun – sering kali dengan cara-cara kekerasan.

Untungnya, organisasi-organisasi arus utama, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan sayap pemudanya, telah selalu mendukung hak untuk mendirikan tempat ibadah. Membangun gereja dengan dukungan cabang organisasi-organisasi ini biasanya menghalangi organisasi-organisasi radikal untuk menolak pembangunan gereja dengan kekerasan. Organisasi-organisasi arus utama ini seharusnya terus menuntut agar pemerintah daerah dan kepolisian menjamin hak untuk membangun tempat ibadah serta mengedukasi Muslim untuk secara aktif mendukung hak ini. 

Pemerintah pusat seharusnya belajar dari penelitian ini bagaimana meredakan konflik-konflik yang disebabkan oleh pembangunan gereja dan menggunakannya untuk menegakkan konstitusi, yang menjamin kebebasan beragama.

###

* Testriono ialah peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan anggota redaksi jurnal Studia Islamika

Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 10 Februari 2012, www.commongroundnews.org. 
Telah memperoleh izin publikasi.

New research may hold key to Indonesia’s church-building controversy

http://www.commongroundnews.org/article.php?id=30973&lan=en&sp=0
http://www.thejakartaglobe.com/columns/the-thinker-keys-to-the-church/496974
http://www.asiasentinel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2945&Itemid=403

by Testriono
07 February 2012


Jakarta - In Bogor, a city in Indonesia’s West Java province, the Presbyterian congregation GKI Yasmin has been prohibited by the local administration from holding services in their church for years. Indonesia’s Supreme Court has ruled that revoking the church’s permit is illegal. However, GKI Yasmin and many churches like it have not been protected from a small but vocal minority in Indonesia that has tried to prevent churches from receiving building and worship permits – and in some cases has even organised mobs to attack churches and congregants.

The case of GKI Yasmin is troubling, but is not representative of the status of all churches across the country. Throughout Indonesia, there are churches that successfully receive permits to build churches and whose congregants worship peacefully in religiously diverse neighbourhoods. Those working to resolve the problems in Bogor can look to the positive examples of interfaith relations in communities that have overcome religious tensions.

A 2011 research report entitled “The Controversy of Churches in Greater Jakarta” was developed by a team of researchers from Paramadina Foundation, a Muslim civil society organisation focused on religious tolerance, along with several civil society organisations with similar missions. It sheds some light on the factors that result in constructive interfaith relations and situations in which churches successfully receive permission to build. The success stories — half of the 13 church building cases studied — demonstrate that there are three factors crucial for congregations to be able to build churches without fear. Churches, as well as religious and political leaders, can learn from these stories.

The first factor is support from the local government and police. These groups have the power to accept or to reject building applications and to stop mobs who want to disrupt the construction process. In the case of the GKI Terang Hidup church in Jakarta, for example, the local police facilitated dialogue between the church building committee and the groups resisting the church’s construction. The police also provided security and informed the surrounding communities about the process.

The second factor is support from religious elites in the surrounding area. For example, in the case of the St. Mikael church in Bekasi, West Java, the church building committee approached a local Muslim leader with a strong popular base in the surrounding community. The approach initiated good relations and changed his attitude to support the establishment of the church.

The third factor is successful dialogue with the Muslim community in the area to avoid misunderstandings and to emphasise that the church is not being built to facilitate proselytising to Muslims, but for the use of church members. All the successfully established churches studied were able to convince their neighbourhood communities that church construction was not meant to enable conversion of Muslims. 

For instance, when the St. Albertus church in Bekasi, West Java was being constructed, the church building committee invited nearby communities, local government officials and police to a number of dialogues. This repetitive approach gradually convinced surrounding communities to support the establishment of the church.

These are key factors for preserving good relations between religious majority and minority groups – and should be publicised more widely. They can also apply to the successful establishment of mosques in Christian-majority communities.

It is also important for the committees to anticipate the responses of conservative Indonesian religious organisations, which in many cases have rejected the construction of churches. These organisations, though small in number, have consistently voiced their opposition in certain places and relied on mobilising community members in opposition to a church being built – often through violent means.

Fortunately, mainstream Muslim organisations such as Nahdlatul Ulama (NU) – the largest Muslim organisation in Indonesia – and its youth wing have always supported the right to establish houses of worship. Building a church with the support of the local branch of these organisations usually deters radical organisations from violently rejecting the church’s construction. These mainstream Muslim organisations should continue to demand that the local government and police guarantee the right to build houses of worship as well as to educate Muslims to actively support that right.

The central government should learn from this research how to mitigate conflicts caused by church construction and use them to uphold Indonesia’s constitution, which guarantees religious freedom.

###

* Testriono is a researcher at the Center for the Study of Islam and Society at the State Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta and Assistant Editor of its journal, Studia Islamika. This article was written for the Common Ground News Service (CGNews).

Source: Common Ground News Service (CGNews), 7 February 2012, www.commongroundnews.org. Copyright permission is granted for publication.

How to worship without fear in Indonesia

Testriono, Jakarta | Wed, 01/18/2012 10:46 AM

Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/18/how-worship-without-fear-indonesia.html

Improving peaceful coexistence between majority and minority religious groups in contemporary Indonesia remains an uphill challenge for the country’s commitment to religious freedom. The role of the state is crucial in nurturing this relationship.

The ongoing obstruction of the establishment of the GKI Yasmin Church in Bogor, West Java, is a recent tangible example of the challenge.

Planned since 2001, GKI Yasmin obtained a building license from the local government in 2006. However, in 2008 the mayor of Bogor annulled the permit for unspecified reasons.

The State Administrative Court ruled in 2008 that the permit’s cancellation was illegitimate, a ruling that was sustained by the High Court of Appeal in 2009 and the Supreme Court in 2010.

The mayor persisted in enforcing the revocation, thus defying the court rulings. Sadly, the local police neither took action to execute the courts’ verdicts nor sought any means of stopping mobs from intimidating the church congregation.

Until today, the church remains off-limits under the mayor’s decree and as a result the congregation has to hold Sunday services on the street.

The case of the GKI Yasmin church reveals that the adversaries of religious tolerance are not just radical religious groups, but also local authorities.

First, local governments producing policies encouraging religious discrimination in their respective jurisdictions base these policies on sectarian political interests. Second, the local police choose to follow discriminatory policies rather than enforcing religious freedom, which is enshrined in the Constitution.

These circumstances are exacerbated by the reluctance of the central government to take any measures to stop the acts of intolerance. In fact, related to the fundamental rights guaranteed by the Constitution such as religious freedom, the central government has the authority to step in to ensure all citizens can exercise their rights.

Historically, conflicts between Muslim and Christian communities, which include violent attacks, building closures and restriction on the establishment of places of worship, are not a new phenomenon in Indonesia. During the New Order regime (1966-1998), as reported by the Indonesia Christian Communication Forum on Church and Human Rights in Indonesia 1998, there were at least 455 attacks on churches. The apostasy issue is the main trigger of these conflicts.

Unfortunately, as there was no effort to tackle the roots of the conflicts, these acts of violence continued in the post-1998 Reform era. Weak law enforcement contributed to Muslim-Christian conflicts, mainly in the form of attacks on churches. According to reports from the Legal Aid Foundation (LBH, 2005), the Indonesian Committee on Religion and Peace (2004), and the Indonesian Conference of Churches (KWI, 2007), at least 564 church attacks were reported between 1998 and 2007.

These conflicts are not a widespread trend in Indonesia. There is a tendency that they occur in large cities and in densely populated urban areas where there is a need to build houses of worship, which then sparks interreligious conflicts.

These conflicts also demonstrate a lack of harmony in majority-minority relations in Indonesia.

Around Jakarta, for instance, we can find many banners that express a local community’s rejection of a church construction. Danger is near if the local government responds to this kind of message with policies in favor of the protesters, as has been exemplified in the GKI Yasmin case.

On the other side, it is acknowledged that the church conflict is also related to the increase in conservatism among Indonesian Muslims, as characterized notably by the emergence of many radical Islamic organizations.

Though small in number, they have a loud voice in blocking church construction and provoking surrounding communities to support them. They become a serious threat if they use violent means and undemocratic ways to realize their aspirations.

A book titled Kontroversi Gereja di Jakarta (2001) gives some insight into church building problems. Based on 13 case studies of church construction in Greater Jakarta, one of which is GKI Yasmin, the book is a report conducted by a team from the Paramadina Foundation and some civil society organizations that promote pluralism. It explained the successes and failures of church establishments.

The research demonstrated that there are at least three important factors, called “unwritten rules”, which impact on the successful construction of churches. The first is the support of the local government and police. The second is the successful negotiation with religious elites in the surrounding area. And the last is the successful dialogue with the Muslim community in the area to avoid polemic and conflict by emphasizing that the church establishment does not hide a conversion agenda.

In the case of GKI Yasmin church, all the three factors are absent or inadequate.

Ideally, in a country where the Constitution guarantees the right of religious freedom, there should be no “unwritten rules” for minority groups to build their houses of worship. Instead, they should be able to worship without fear anywhere in Indonesia.

The writer is a researcher at the Center for the Study of Islam and Society (PPIM) at the State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. He is also an assistant to editor of the Studia Islamika Journal, which is published by the center.

Rabu, 19 Oktober 2011

Involusi Pembaruan Islam

Sumber: Koran Tempo, 14 Oktober 2011

Testriono 
Peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

"Islam sekarang ini berada dalam keadaan beku," demikian catatan Moh. Shofan dalam "Quo Vadis Pemikiran Islam?" (Koran Tempo, 1 Oktober 2011). Tulisan itu melengkapi kegalauannya dalam artikel "Nasib Pembaruan Islam" (Koran Tempo, 22 Juli 2011), yang menyebut ihwal "... gagalnya intelektual liberal mengusung gagasan pluralisme, liberalisme, demokrasi." 

Penilaian pesimistis di atas lebih mencerminkan tilikan parsial yang terburu-buru ketimbang refleksi sosio-historis yang kritis atas perkembangan umat Islam Indonesia. Pasalnya, fenomena yang ada justru menyiratkan terus berlangsungnya gerak pembaruan. Muncul banyak muslim muda progresif dan liberal yang meramaikan diskursus pembaruan Islam. Tapi, di sini pangkal soalnya, pemikiran yang mereka kembangkan hanya melahirkan "involusi" dalam pembaruan Islam.

Gerakan pembaruan Islam yang dirintis oleh generasi Nurcholish Madjid--di antaranya Mukti Ali, Harun Nasution, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, dan Kuntowijoyo--telah memicu lahirnya kantong-kantong pembaruan Islam di berbagai kota di Indonesia. Banyak muslim Indonesia kini menapaki trek pembaruan Islam, terutama kebebasan berpikir dan sikap terbuka, yang fondasi dasarnya diletakkan oleh generasi Nurcholish. 

Sayangnya, generasi baru itu terlalu terpaku pada ide-ide besar yang dirumuskan generasi Nurcholish, seperti soal hubungan agama dan negara, sekularisasi, demokrasi, serta pluralisme. Mereka terjebak pada sekadar memberi "catatan kaki" atas ide-ide pendahulunya itu ke dalam gagasan yang lebih spesifik, seperti hak-hak minoritas, perkawinan antaragama, poligami, dan jilbab. 

Dalam konteks inilah involusi pembaruan Islam terjadi. Pemikiran dan gerakan pembaruan hanya berkembang semakin terperinci ke dalam, yang membuatnya tampak stagnan, nihil inovasi, dan absen dari terobosan. Involusi inilah yang dilihat Shofan sebagai kebekuan itu.

Institusionalisasi
Soal berikutnya terkait dengan sukses-gagalnya kelompok pembaru dalam mempromosikan pluralisme, liberalisme, dan demokrasi. Memang, salah satu tantangan besar para pembaru kini adalah model keberagamaan yang antipluralisme dan mengedepankan cara-cara kekerasan terhadap perbedaan. Sebagian dari kelompok yang digolongkan Khaled Abou el-Fadl sebagai "puritan" itu tumbuh menjadi radikal dan teroris. Tantangan seperti itu tidak muncul pada masa generasi Nurcholish. Selain karena represi rezim Orde Baru dapat menekan aktivisme kelompok radikal, generasi Nurcholish berhasil masuk ke sektor birokrasi dan mempengaruhi sejumlah kebijakan negara. 

Pelembagaan pembaruan Islam tersebut menjadi pokok yang membedakan pembaru generasi kini dengan pendahulunya. Liberalisasi pemikiran Nurcholish beroleh akselerasi lewat Yayasan Paramadina yang mengembangkan mulai kajian agama hingga universitas. Modernisasi Islam Mukti Ali berlangsung lewat jalur birokrasi, yang sebagai Menteri Agama ia merumuskan berbagai kebijakan modernisasi Islam dan kerukunan antarumat beragama. Institusionalisasi pembaruan Islam Harun Nasution ke dalam kurikulum UIN Jakarta melahirkan banyak cendekiawan muslim yang piawai menerapkan ilmu-ilmu sosial dalam mengkaji Islam. Transformasi sosial Dawam Rahardjo berhasil mengintegrasikan lembaga swadaya masyarakat dan pesantren dalam pemberdayaan masyarakat. 

Banyak anak muda muslim kini menyuburkan aktivisme pembaruan Islam lewat lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Sayangnya, tidak terjadi institusionalisasi di level pemerintahan seperti terjadi pada generasi Nurcholish, sehingga agenda-agenda pembaruan sulit masuk ke dalam kebijakan negara. Padahal, seperti dalam soal pembelaan terhadap kelompok minoritas, dibutuhkan dukungan regulasi negara yang tepat dan demokratis. 

Dinamika sosio-politik sejak reformasi 1998 dan bagaimana respons para pembaru inilah yang tidak ditangkap oleh Shofan. Transisi demokratis menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kelompok keagamaan yang menghalalkan kekerasan. Sementara itu, agenda kelompok pembaru seperti jalan di tempat karena kurang menyentuh level birokrasi pemerintahan. 

Kajian Islam
Kabar baik datang dari kajian Islam yang lebih empiris. Situasinya bertolak belakang dengan suasana pemikiran pembaruan yang adem-ayem. Taufik Abdullah (1987) menyebutkan dua pendekatan utama dalam studi Islam. Pertama, pendekatan kritis terhadap teks, dalam hal ini doktrin ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan sunah, termasuk studi atas karya para ulama klasik. Pendekatan ini melihat teks sebagai idealisasi dari situasi sosial dan memandang teks itu akan fungsional melalui interpretasi kontekstual. Pendekatan ini kerap mengintegrasikan studi agama, seperti teologi, tafsir, sufisme, dan fikih, dengan filsafat dan hermeneutika.

Keterbatasan pendekatan teks dalam menjawab persoalan umat yang makin kompleks melahirkan pendekatan kedua yang bertolak dari realitas sosial-historis: pendekatan ilmu sosial dalam studi Islam. Pendekatan ini bertujuan memahami hubungan antara ajaran yang bersifat universal dan masyarakat pemeluknya yang terikat ruang serta waktu.

Berbeda dengan pendekatan tekstual yang kini sepi dari cetusan gagasan besar dan perdebatan luas, studi-studi masyarakat muslim yang menggunakan ilmu sosial modern sebagai pisau analisisnya kini berkembang pesat. Muncul sejumlah sarjana muslim yang mengkaji Islam dengan pendekatan sosial, beberapa di antaranya Azyumardi Azra, Bahtiar Effendy, M. Syafi'i Anwar, Saiful Mujani, Ali Munhanif, dan Ihsan Ali-Fauzi. Sementara generasi Nurcholish baru pada tahap merintis pendekatan sosial itu, generasi penerusnya berhasil mendorong pendekatan tersebut menjadi arus utama dalam kajian Islam di Indonesia. 

Para sarjana muslim itu melakukan apa yang lazim dikerjakan ilmuwan sosial: merumuskan persoalan, menguji paradigma, mengembangkan teori, dan membaca gerak sejarah. Dengan menjadikan masyarakat muslim dan dinamikanya sebagai obyek kajian utama, pendekatan sosial tampil di garda depan dalam menemukan solusi bagi persoalan-persoalan sosial umat. Pada studi masyarakat muslim inilah optimisme pembaruan Islam kini bertumpu.

Memblokade Pasar Terorisme

Sumber: Koran Tempo28 September 2011


Testriono
Peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta



Aksi terorisme kembali terjadi. Sebuah bom bunuh diri meledak di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton di Solo, Jawa Tengah, dan melukai puluhan orang. Aksi tersebut makin menegaskan bahwa kelompok teroris terus bermetamorfosis.

Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror M. Tito Karnavian menyebutkan telah terbentuk generasi baru terorisme. Sementara generasi pertama adalah kelompok inti Al-Qaidah dan generasi kedua mereka yang pernah dilatih kelompok inti Al-Qaidah, generasi ketiga adalah mereka yang tidak pernah dilatih oleh generasi pertama dan kedua. Mereka mengembangkan jaringan sendiri dan memperoleh kemampuan membuat bom secara otodidaktik (Tempo, 2 Mei 2011).

Meminjam analogi "pasar" dari Alan B. Krueger (2008), terorisme di Indonesia masih terjadi karena terpenuhinya aspek penawaran (supply) dan permintaan (demand). Berulangnya aksi terorisme menunjukkan organisasi teroris belum kehabisan stok martir: masih ada orang-orang yang rela mati demi ideologi radikal. Inilah sisi penawaran dalam pasar terorisme. Tapi suplai pelaku saja tak cukup. Keberhasilan terorisme ditunjang oleh adanya strategi (metode, target, dan waktu yang tepat), pendanaan, serta ketersediaan bahan peledak. Inilah sisi permintaan di balik aksi terorisme.

Sebagai pasar, upaya-upaya kontraterorisme akan berhasil jika aspek penawaran dan permintaannya dapat diblokade sekaligus. Menargetkan sisi suplai pelaku saja barulah setengah jalan. Langkah berikutnya adalah menghentikan sisi permintaan: membongkar rencana teror, memutus aliran dananya, dan mengungkap pasar gelap bahan pembuat bomnya. Inilah bagian dari strategi komprehensif yang mesti ditempuh negara untuk membendung terorisme.


Negara kuat
Dalam memblokade sisi penawaran terorisme, kita akui kinerja aparat keamanan relatif berhasil. Terhitung sejak tahun 2000 hingga kini, Densus 88 telah menangkap sekitar 700 teroris. Namun terus terjadinya aksi teror menunjukkan sisi permintaan terorisme belum terbendung sepenuhnya. Maka pintu transformasi radikalisme menjadi aksi teror masih terbuka.

Studi Krueger dan Laitin (2007) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat kebebasan sipil serta politik yang tinggi--di antaranya ditandai oleh adanya kebebasan pers, kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, dan pemilihan umum yang terbuka--menjadi lahan tandus bagi lahirnya teroris. Sebaliknya, negara-negara yang membatasi hak-hak demokratis mendorong kelompok radikal memilih taktik kekerasan. Arab Saudi adalah contoh negara yang kaya tapi membatasi hak-hak demokratis warganya sehingga menjadi "kampung halaman" bagi para petinggi Al-Qaidah seperti Usamah bin Ladin.

Namun kebebasan sipil dan politik saja tidak cukup. Bangladesh dan Pakistan adalah contoh negara yang menyediakan hak-hak demokratis tapi menjadi tempat bagi berbagai aktivitas terorisme. Indonesia saat ini, contoh lain, meski menyediakan kebebasan sipil dan mengalami mobilisasi damai kelompok islamis lewat pembentukan partai politik, tetap melahirkan teroris. Mengapa itu bisa terjadi?

Di sinilah Francis Fukuyama (2004) benar: negara-negara lemah atau gagal menjadi akar dari banyak problem paling serius di dunia, mulai kemiskinan, AIDS, perdagangan narkoba, sampai terorisme. Negara yang lemah, secara tidak langsung, memberi peluang bagi kelompok radikal menggunakan kekerasan serta menjadi pintu masuk bagi kelompok teroris internasional untuk menyuplai uang, senjata, dan bahan baku, serta melakukan pelatihan.

Indonesia memang berhasil melakukan demokratisasi dan membuka pintu kebebasan sipil serta politik bagi warganya. Namun, dari sisi kapasitas, meliputi aspek penegakan hukum dan aspek pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, serta kesejahteraan sosial, Indonesia masih tergolong lemah. Menurut Indeks Negara Gagal 2011 yang dibuat per tahun oleh Fund for Peace dan majalah Foreign Policy, Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 177 negara. Peringkat itu jauh di bawah Malaysia yang berada pada posisi ke-112. Menurut indeks tersebut, Indonesia masuk dalam kategori zona bahaya.

Maka, selain menambah dosis demokrasi, pekerjaan rumah bagi pemerintah mencegah mobilisasi kekerasan adalah dengan mengefektifkan kapasitas negara. Seperti dikemukakan Julie Chernov Hwang (2009), ketidakmampuan rezim demokratis mengelola keamanan dalam negeri, menegakkan rule of law, dan melaksanakan cita-cita kemakmuran akan memicu mobilisasi kekerasan kelompok-kelompok radikal. Mereka akan memanfaatkan sisi lemah negara itu untuk melancarkan aksi-aksi teror mereka.

Demikianlah, seperti disimpulkan oleh Komisi Nasional atas Serangan Teroris terhadap Amerika Serikat (2004): "Kebijakan ekonomi yang buruk dan rezim politik yang represif hanya akan melahirkan masyarakat yang tanpa harapan." Dan, seperti terjadi di banyak negara lemah dan gagal, keputusasaan politik serta ekonomi menjadi daya dorong ampuh melakukan aksi teror. Maka, memberantas terorisme memang harus berjalan beriringan dengan upaya memperkuat rezim demokratis. Dengan demikian, tidak ada alasan dan peluang bagi kelompok radikal mengadopsi strategi terorisme.

Rabu, 14 September 2011

Winning without war in Indonesia

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2011/09/03/winning-without-war-indonesia.html

Testriono, Jakarta | Sat, 09/03/2011 8:00 AM

I recently met some friends through social media who were elementary or junior high students when the 9/11 terrorist attacks in the United States.

Most of these young people agree that such terrorism could never be warranted. For example, Qurrota Ayuni, 24, said: “Whatever the reasons behind the 9/11 attack, it cannot be justified in the name of humanity. It killed thousands of innocent people for the sake of narrow, sectarian interests.”

However, the main concern of these youth was the effect of 9/11 on their own country.

Unfortunately, in Indonesia the effects of 9/11 are linked to the perception that the West is at war with Islam — a perception that has indirectly contributed to an increase in the number of extremist Indonesian Muslim youth. For the upcoming 10th anniversary of 9/11, a fitting legacy is to encourage peaceful outlets for youth to engage in society.

Sadly, a small but significant number of Indonesian youth have taken part in terrorist attacks in the country in recent years. For instance, in January 2011 police arrested six terrorist suspects between the ages of 19 and 21 in Klaten, Central Java.

Muslim youth involvement in extremist movements was also confirmed by a survey conducted in Jakarta from 2010 to 2011 by the Institute for Studies on Islam and Peace. The survey revealed that some junior and senior high school students are willing to engage in various acts of violence, shut down or attack night clubs, forcibly close houses of worship of other faiths or aid Muslims in conflict zones by providing them with weapons.

Important to the process of de-radicalizing youth is their involvement in meaningful organizations. Sadly, associations targeting youth have been on the decline in recent years.

After Indonesian President Soeharto’s departure in 1998, which resulted in a new era of reform in Indonesia, many youth associations were incorporated into local or national political parties in order to provide additional support for electoral candidates. Of those groups not focused on politics, many seek to raise collective piety, and offer youth involvement in radical organizations such as the Islam Defenders Front (FPI).

The radicalization of Muslim youth is taking place concurrently with the declining popularity of youth organizations focused on developing character and creativity. Karang Taruna — a network of youth organizations in villages that empower youth through activities like playing sports, learning financial skills and creating artwork — are rarely found these days.

The general chairman of Karang Taruna, Taufan E. N. Rotorasiko, says that one of the reasons Karang Taruna is both less attractive to youth and less active in conducting activities than in past years is that the Social Affairs Ministry, once the main patron of Karang Taruna, was disbanded during the presidency of Abdurrahman Wahid in 1999.

Involving young people in creative activities like art and sports can reduce the risk of them joining extremist groups because they have the opportunities to develop friendships with youth from different ethnic, religious and socioeconomic backgrounds, thereby increasing their tolerance of diversity.

For example, the students of Pesantren Pabelan in Magelang, Central Java, are involved in the International Award for Young People (IAYP), an international award program that is aimed at individuals between the ages of 14 and 25, and who are interested in engaging in a voluntary self-development program.

Nurul Faizah, IAYP’s program coordinator, works at an Islamic boarding school called Pesantren Pabelan. Faizah says that the program helps students be more open to differences in others’ backgrounds. For instance, student participants engage in discussions with peers from non-Muslim schools and play friendly sports matches with students from Catholic seminaries nearby.

There are also examples of successful youth associations at the university level, such as the Ciputat Student Forum, which is the oldest Indonesian student study club. Based in the Banten province, its activists develop open, democratic and critical thinking, and are committed to defending human rights. The club’s members also actively oppose discrimination against minorities.

These examples show that de-radicalization programs that encourage the growth of youth associations independent of politics should be part of the solution to stop radical movements.

Countering radical movements requires a soft approach. Sadly, one of the legacies of 9/11 was the so-called “war on terror”, which helped regenerate radical movements by attracting youth to radical, mainly anti-US causes.

There is a better way to combat radicalism and terrorism, which has been proven to work in Indonesia — and in many other countries. It is to empower youth, helping them achieve positive aspirations and, in the process, abandon negative and violent ones.

Following this path would provide youth with a better outlook for the future and a more fitting closure to the 9/11 tragedy.

The writer is a researcher at the Center for the Study of Islam and Society at the State Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta.