Selasa, 23 Agustus 2011

Melawan Ormas Radikal


Sumber: Koran Tempo, Edisi 07 Oktober 2010

Testriono
PENELITI DI PUSAT PENGKAJIAN ISLAM DAN MASYARAKAT (PPIM) UIN SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA

Front Pembela Islam (FPI) kembali bikin ulah. Sasarannya kali ini adalah “Q! Film Festival”, yang tengah memutar film-film bertema gay dan lesbian. Dengan alasan film-film tersebut bertentangan dengan Islam, FPI mengancam akan membakar gedung Goethe Institut Jakarta, salah satu tempat penyelenggaraan festival itu, jika festival tetap berlangsung. Aksi-aksi kekerasan FPI yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir adalah buah dari lemahnya aparat keamanan menghadapi ormas-ormas radikal. Pemerintah kerap kali kalah di hadapan organisasi kemasyarakatan (ormas) radikal dan memilih mengikuti aspirasi mereka ketimbang menegakkan hukum dan ketertiban.

Dalam kasus di atas, misalnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru akan mengevaluasi penyelenggaraan festival, dan menyalahkan penyelenggara karena dinilai kurang peka terhadap karakter masyarakat. Sikap pemerintah yang tunduk kepada aspirasi FPI, yang bertentangan dengan undang-undang, merupakan kemunduran di alam demokrasi. Sebaliknya, FPI makin merasa punya legitimasi untuk terus melakukan aksi-aksi intimidatif dan anarkistis terhadap setiap hal yang tidak mereka setujui.

Mengancam demokrasi
Gaya preman memang bukan milik FPI semata. Selama empat tahun terakhir (2007-2010) polisi mencatat telah terjadi 107 aksi kekerasan oleh ormas. Sebagian besar pelakunya memang FPI. Sayangnya, tak sampai separuh dari jumlah aksi kekerasan itu yang masuk ke pengadilan. Muncul setelah jatuhnya Orde Baru pada 1998, FPI adalah salah satu dari banyak kelompok Islamis yang memperoleh manfaat dari konteks reformasi. Persoalannya, berbeda dengan PKS, PBB, dan PBR yang memilih jalur damai bahkan membentuk partai politik, FPI masuk dalam barisan ormas Islam di luar partai yang menghalalkan aksi kekerasan dalam menjalankan agendanya.

Momentum transisi demokrasi, di mana negara dalam keadaan lemah untuk menegakkan hukum dan ketertiban, menyuburkan kekerasan berbasis intoleransi. Sejumlah survei yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dalam sepuluh tahun terakhir menemukan tingginya tingkat intoleransi masyarakat. Intoleransi itu setidaknya diindikasikan melalui penolakan pendirian rumah ibadah non-muslim dan keberatan terhadap guru non-muslim mengajar di sekolah umum.

Ancaman bagi demokrasi baru tidak semata datang dari partai-partai agama yang memperjuangkan sejumlah agenda yang bertentangan dengan demokrasi. Ancaman juga datang dari berbagai ormas yang memperjuangkan aspirasinya melalui aksi-aksi jalanan yang anarkistis dan inkonstitusional. Mereka mengembangkan sikap intoleran, mengintimidasi kelompok-kelompok minoritas, bahkan menyerang pihak-pihak yang berseberangan dengan mereka. Parahnya, negara kerap kali gagal mencegah terjadinya kekerasan oleh ormas itu.

Menolak kekerasan
Meski aksi-aksi intoleransi agama dan antipluralisme yang terutama dilakukan oleh ormas-ormas Islam baru muncul belakangan, dampaknya telah merusak wajah moderat dan damai umat muslim Indonesia. FPI adalah ormas Islam yang paling vokal dalam mengembangkan sikap-sikap intoleran. Berdalih menjalankan perintah agama, FPI melancarkan sejumlah agenda intoleransi. Aksi sweeping terhadap tempat-tempat hiburan malam di bulan Ramadan dan demonstrasi anti-Ahmadiyah adalah yang paling sering dilakukan.

Cara-cara kekerasan yang digunakan FPI membuatnya besar dari segi nama, meski kecil dari sisi jumlah anggota. Seorang rekan jurnalis mengatakan, publik dan media Barat kini lebih mengenal FPI ketimbang ormas-ormas moderat mainstream, seperti NU dan Muhammadiyah. Padahal, meski dukungan terhadap indikator intoleransi cukup tinggi, dukungan masyarakat terhadap aksi kekerasan sangatlah rendah. Jajak pendapat Kompas (6 September 2010) menunjukkan bahwa 92,3 persen responden merasa resah atas penyerangan terhadap kelompok tertentu. Mayoritas juga menolak demonstrasi ormas dengan kekerasan (92,9 persen), aksi sweeping (82 persen), dan penutupan tempat ibadah umat lain (81,5 persen).

Kapasitas negara
Intoleransi tidak akan berbahaya jika tidak diikuti oleh aksi-aksi anarkistis melawan hukum. Dukungan masyarakat yang rendah terhadap aksi kekerasan adalah modal penting bagi pemerintah untuk menindak tegas pelaku kekerasan. Pandangan bahwa menindak tegas ormas anarkistis akan menurunkan popularitas pemerintah adalah hal yang keliru. Justru mayoritas masyarakat sangat ingin pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap pengurus atau anggota ormas yang melakukan kekerasan. Dan itu adalah cara paling efektif untuk menghentikan kekerasan ormas. Malaysia dan Turki adalah contoh negara yang berhasil menekan kelompok radikal melalui pendekatan keamanan ini.

Membekukan ormas yang terbukti berulang kali mengganggu keamanan dan ketertiban umum, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, adalah pilihan yang mungkin dilakukan. Tindakan tegas seperti ini akan menjadi preseden bagi ormas-ormas lain sehingga mereka menjauhi cara-cara kekerasan.

Meski demikian, penguatan kapasitas keamanan negara saja memang tidaklah cukup. Negara juga harus efektif dalam menyediakan pelayanan sosial, seperti pendidikan dan kesehatan. Kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang rentan akibat kemiskinan, pengangguran, serta layanan sosial pemerintah yang buruk adalah tanah subur bagi berkembangnya ormas-ormas radikal.

Di masa mendatang, pemerintah Indonesia perlu perbaikan dalam dua hal. Pertama, revisi UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Menurut Kementerian Dalam Negeri, hingga tahun 2010 ini jumlah ormas di Indonesia telah mencapai sekitar 9.000 ormas. Ini belum termasuk yang tidak terdaftar di kementerian. Sementara itu, undang-undang yang kita miliki untuk mengaturnya telah kedaluwarsa dan sudah tidak relevan dengan konteks demokrasi sekarang.

Kedua, pemerintah harus segera merumuskan kebijakan khusus untuk membangun masyarakat Indonesia yang toleran. Tingkat pluralitas masyarakat Indonesia sangat tinggi. Sedangkan aturan-aturan yang ada masih berupa kebijakan-kebijakan parsial di departemen-departemen yang terpisah. Toleransi adalah persoalan besar yang harus memperoleh perhatian serius, seperti halnya isu-isu ekonomi, pendidikan, atau kesehatan.

Demikianlah, pemerintah harus menang menghadapi ormas-ormas radikal. Tindakan tegas, kebijakan yang tepat, dan regulasi yang baik adalah cara jitu mengubah strategi kekerasan ormas menjadi strategi damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar