Rabu, 19 Oktober 2011

Involusi Pembaruan Islam

Sumber: Koran Tempo, 14 Oktober 2011

Testriono 
Peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

"Islam sekarang ini berada dalam keadaan beku," demikian catatan Moh. Shofan dalam "Quo Vadis Pemikiran Islam?" (Koran Tempo, 1 Oktober 2011). Tulisan itu melengkapi kegalauannya dalam artikel "Nasib Pembaruan Islam" (Koran Tempo, 22 Juli 2011), yang menyebut ihwal "... gagalnya intelektual liberal mengusung gagasan pluralisme, liberalisme, demokrasi." 

Penilaian pesimistis di atas lebih mencerminkan tilikan parsial yang terburu-buru ketimbang refleksi sosio-historis yang kritis atas perkembangan umat Islam Indonesia. Pasalnya, fenomena yang ada justru menyiratkan terus berlangsungnya gerak pembaruan. Muncul banyak muslim muda progresif dan liberal yang meramaikan diskursus pembaruan Islam. Tapi, di sini pangkal soalnya, pemikiran yang mereka kembangkan hanya melahirkan "involusi" dalam pembaruan Islam.

Gerakan pembaruan Islam yang dirintis oleh generasi Nurcholish Madjid--di antaranya Mukti Ali, Harun Nasution, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, dan Kuntowijoyo--telah memicu lahirnya kantong-kantong pembaruan Islam di berbagai kota di Indonesia. Banyak muslim Indonesia kini menapaki trek pembaruan Islam, terutama kebebasan berpikir dan sikap terbuka, yang fondasi dasarnya diletakkan oleh generasi Nurcholish. 

Sayangnya, generasi baru itu terlalu terpaku pada ide-ide besar yang dirumuskan generasi Nurcholish, seperti soal hubungan agama dan negara, sekularisasi, demokrasi, serta pluralisme. Mereka terjebak pada sekadar memberi "catatan kaki" atas ide-ide pendahulunya itu ke dalam gagasan yang lebih spesifik, seperti hak-hak minoritas, perkawinan antaragama, poligami, dan jilbab. 

Dalam konteks inilah involusi pembaruan Islam terjadi. Pemikiran dan gerakan pembaruan hanya berkembang semakin terperinci ke dalam, yang membuatnya tampak stagnan, nihil inovasi, dan absen dari terobosan. Involusi inilah yang dilihat Shofan sebagai kebekuan itu.

Institusionalisasi
Soal berikutnya terkait dengan sukses-gagalnya kelompok pembaru dalam mempromosikan pluralisme, liberalisme, dan demokrasi. Memang, salah satu tantangan besar para pembaru kini adalah model keberagamaan yang antipluralisme dan mengedepankan cara-cara kekerasan terhadap perbedaan. Sebagian dari kelompok yang digolongkan Khaled Abou el-Fadl sebagai "puritan" itu tumbuh menjadi radikal dan teroris. Tantangan seperti itu tidak muncul pada masa generasi Nurcholish. Selain karena represi rezim Orde Baru dapat menekan aktivisme kelompok radikal, generasi Nurcholish berhasil masuk ke sektor birokrasi dan mempengaruhi sejumlah kebijakan negara. 

Pelembagaan pembaruan Islam tersebut menjadi pokok yang membedakan pembaru generasi kini dengan pendahulunya. Liberalisasi pemikiran Nurcholish beroleh akselerasi lewat Yayasan Paramadina yang mengembangkan mulai kajian agama hingga universitas. Modernisasi Islam Mukti Ali berlangsung lewat jalur birokrasi, yang sebagai Menteri Agama ia merumuskan berbagai kebijakan modernisasi Islam dan kerukunan antarumat beragama. Institusionalisasi pembaruan Islam Harun Nasution ke dalam kurikulum UIN Jakarta melahirkan banyak cendekiawan muslim yang piawai menerapkan ilmu-ilmu sosial dalam mengkaji Islam. Transformasi sosial Dawam Rahardjo berhasil mengintegrasikan lembaga swadaya masyarakat dan pesantren dalam pemberdayaan masyarakat. 

Banyak anak muda muslim kini menyuburkan aktivisme pembaruan Islam lewat lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Sayangnya, tidak terjadi institusionalisasi di level pemerintahan seperti terjadi pada generasi Nurcholish, sehingga agenda-agenda pembaruan sulit masuk ke dalam kebijakan negara. Padahal, seperti dalam soal pembelaan terhadap kelompok minoritas, dibutuhkan dukungan regulasi negara yang tepat dan demokratis. 

Dinamika sosio-politik sejak reformasi 1998 dan bagaimana respons para pembaru inilah yang tidak ditangkap oleh Shofan. Transisi demokratis menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kelompok keagamaan yang menghalalkan kekerasan. Sementara itu, agenda kelompok pembaru seperti jalan di tempat karena kurang menyentuh level birokrasi pemerintahan. 

Kajian Islam
Kabar baik datang dari kajian Islam yang lebih empiris. Situasinya bertolak belakang dengan suasana pemikiran pembaruan yang adem-ayem. Taufik Abdullah (1987) menyebutkan dua pendekatan utama dalam studi Islam. Pertama, pendekatan kritis terhadap teks, dalam hal ini doktrin ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan sunah, termasuk studi atas karya para ulama klasik. Pendekatan ini melihat teks sebagai idealisasi dari situasi sosial dan memandang teks itu akan fungsional melalui interpretasi kontekstual. Pendekatan ini kerap mengintegrasikan studi agama, seperti teologi, tafsir, sufisme, dan fikih, dengan filsafat dan hermeneutika.

Keterbatasan pendekatan teks dalam menjawab persoalan umat yang makin kompleks melahirkan pendekatan kedua yang bertolak dari realitas sosial-historis: pendekatan ilmu sosial dalam studi Islam. Pendekatan ini bertujuan memahami hubungan antara ajaran yang bersifat universal dan masyarakat pemeluknya yang terikat ruang serta waktu.

Berbeda dengan pendekatan tekstual yang kini sepi dari cetusan gagasan besar dan perdebatan luas, studi-studi masyarakat muslim yang menggunakan ilmu sosial modern sebagai pisau analisisnya kini berkembang pesat. Muncul sejumlah sarjana muslim yang mengkaji Islam dengan pendekatan sosial, beberapa di antaranya Azyumardi Azra, Bahtiar Effendy, M. Syafi'i Anwar, Saiful Mujani, Ali Munhanif, dan Ihsan Ali-Fauzi. Sementara generasi Nurcholish baru pada tahap merintis pendekatan sosial itu, generasi penerusnya berhasil mendorong pendekatan tersebut menjadi arus utama dalam kajian Islam di Indonesia. 

Para sarjana muslim itu melakukan apa yang lazim dikerjakan ilmuwan sosial: merumuskan persoalan, menguji paradigma, mengembangkan teori, dan membaca gerak sejarah. Dengan menjadikan masyarakat muslim dan dinamikanya sebagai obyek kajian utama, pendekatan sosial tampil di garda depan dalam menemukan solusi bagi persoalan-persoalan sosial umat. Pada studi masyarakat muslim inilah optimisme pembaruan Islam kini bertumpu.

Memblokade Pasar Terorisme

Sumber: Koran Tempo28 September 2011


Testriono
Peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta



Aksi terorisme kembali terjadi. Sebuah bom bunuh diri meledak di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton di Solo, Jawa Tengah, dan melukai puluhan orang. Aksi tersebut makin menegaskan bahwa kelompok teroris terus bermetamorfosis.

Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror M. Tito Karnavian menyebutkan telah terbentuk generasi baru terorisme. Sementara generasi pertama adalah kelompok inti Al-Qaidah dan generasi kedua mereka yang pernah dilatih kelompok inti Al-Qaidah, generasi ketiga adalah mereka yang tidak pernah dilatih oleh generasi pertama dan kedua. Mereka mengembangkan jaringan sendiri dan memperoleh kemampuan membuat bom secara otodidaktik (Tempo, 2 Mei 2011).

Meminjam analogi "pasar" dari Alan B. Krueger (2008), terorisme di Indonesia masih terjadi karena terpenuhinya aspek penawaran (supply) dan permintaan (demand). Berulangnya aksi terorisme menunjukkan organisasi teroris belum kehabisan stok martir: masih ada orang-orang yang rela mati demi ideologi radikal. Inilah sisi penawaran dalam pasar terorisme. Tapi suplai pelaku saja tak cukup. Keberhasilan terorisme ditunjang oleh adanya strategi (metode, target, dan waktu yang tepat), pendanaan, serta ketersediaan bahan peledak. Inilah sisi permintaan di balik aksi terorisme.

Sebagai pasar, upaya-upaya kontraterorisme akan berhasil jika aspek penawaran dan permintaannya dapat diblokade sekaligus. Menargetkan sisi suplai pelaku saja barulah setengah jalan. Langkah berikutnya adalah menghentikan sisi permintaan: membongkar rencana teror, memutus aliran dananya, dan mengungkap pasar gelap bahan pembuat bomnya. Inilah bagian dari strategi komprehensif yang mesti ditempuh negara untuk membendung terorisme.


Negara kuat
Dalam memblokade sisi penawaran terorisme, kita akui kinerja aparat keamanan relatif berhasil. Terhitung sejak tahun 2000 hingga kini, Densus 88 telah menangkap sekitar 700 teroris. Namun terus terjadinya aksi teror menunjukkan sisi permintaan terorisme belum terbendung sepenuhnya. Maka pintu transformasi radikalisme menjadi aksi teror masih terbuka.

Studi Krueger dan Laitin (2007) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat kebebasan sipil serta politik yang tinggi--di antaranya ditandai oleh adanya kebebasan pers, kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, dan pemilihan umum yang terbuka--menjadi lahan tandus bagi lahirnya teroris. Sebaliknya, negara-negara yang membatasi hak-hak demokratis mendorong kelompok radikal memilih taktik kekerasan. Arab Saudi adalah contoh negara yang kaya tapi membatasi hak-hak demokratis warganya sehingga menjadi "kampung halaman" bagi para petinggi Al-Qaidah seperti Usamah bin Ladin.

Namun kebebasan sipil dan politik saja tidak cukup. Bangladesh dan Pakistan adalah contoh negara yang menyediakan hak-hak demokratis tapi menjadi tempat bagi berbagai aktivitas terorisme. Indonesia saat ini, contoh lain, meski menyediakan kebebasan sipil dan mengalami mobilisasi damai kelompok islamis lewat pembentukan partai politik, tetap melahirkan teroris. Mengapa itu bisa terjadi?

Di sinilah Francis Fukuyama (2004) benar: negara-negara lemah atau gagal menjadi akar dari banyak problem paling serius di dunia, mulai kemiskinan, AIDS, perdagangan narkoba, sampai terorisme. Negara yang lemah, secara tidak langsung, memberi peluang bagi kelompok radikal menggunakan kekerasan serta menjadi pintu masuk bagi kelompok teroris internasional untuk menyuplai uang, senjata, dan bahan baku, serta melakukan pelatihan.

Indonesia memang berhasil melakukan demokratisasi dan membuka pintu kebebasan sipil serta politik bagi warganya. Namun, dari sisi kapasitas, meliputi aspek penegakan hukum dan aspek pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, serta kesejahteraan sosial, Indonesia masih tergolong lemah. Menurut Indeks Negara Gagal 2011 yang dibuat per tahun oleh Fund for Peace dan majalah Foreign Policy, Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 177 negara. Peringkat itu jauh di bawah Malaysia yang berada pada posisi ke-112. Menurut indeks tersebut, Indonesia masuk dalam kategori zona bahaya.

Maka, selain menambah dosis demokrasi, pekerjaan rumah bagi pemerintah mencegah mobilisasi kekerasan adalah dengan mengefektifkan kapasitas negara. Seperti dikemukakan Julie Chernov Hwang (2009), ketidakmampuan rezim demokratis mengelola keamanan dalam negeri, menegakkan rule of law, dan melaksanakan cita-cita kemakmuran akan memicu mobilisasi kekerasan kelompok-kelompok radikal. Mereka akan memanfaatkan sisi lemah negara itu untuk melancarkan aksi-aksi teror mereka.

Demikianlah, seperti disimpulkan oleh Komisi Nasional atas Serangan Teroris terhadap Amerika Serikat (2004): "Kebijakan ekonomi yang buruk dan rezim politik yang represif hanya akan melahirkan masyarakat yang tanpa harapan." Dan, seperti terjadi di banyak negara lemah dan gagal, keputusasaan politik serta ekonomi menjadi daya dorong ampuh melakukan aksi teror. Maka, memberantas terorisme memang harus berjalan beriringan dengan upaya memperkuat rezim demokratis. Dengan demikian, tidak ada alasan dan peluang bagi kelompok radikal mengadopsi strategi terorisme.

Rabu, 14 September 2011

Winning without war in Indonesia

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2011/09/03/winning-without-war-indonesia.html

Testriono, Jakarta | Sat, 09/03/2011 8:00 AM

I recently met some friends through social media who were elementary or junior high students when the 9/11 terrorist attacks in the United States.

Most of these young people agree that such terrorism could never be warranted. For example, Qurrota Ayuni, 24, said: “Whatever the reasons behind the 9/11 attack, it cannot be justified in the name of humanity. It killed thousands of innocent people for the sake of narrow, sectarian interests.”

However, the main concern of these youth was the effect of 9/11 on their own country.

Unfortunately, in Indonesia the effects of 9/11 are linked to the perception that the West is at war with Islam — a perception that has indirectly contributed to an increase in the number of extremist Indonesian Muslim youth. For the upcoming 10th anniversary of 9/11, a fitting legacy is to encourage peaceful outlets for youth to engage in society.

Sadly, a small but significant number of Indonesian youth have taken part in terrorist attacks in the country in recent years. For instance, in January 2011 police arrested six terrorist suspects between the ages of 19 and 21 in Klaten, Central Java.

Muslim youth involvement in extremist movements was also confirmed by a survey conducted in Jakarta from 2010 to 2011 by the Institute for Studies on Islam and Peace. The survey revealed that some junior and senior high school students are willing to engage in various acts of violence, shut down or attack night clubs, forcibly close houses of worship of other faiths or aid Muslims in conflict zones by providing them with weapons.

Important to the process of de-radicalizing youth is their involvement in meaningful organizations. Sadly, associations targeting youth have been on the decline in recent years.

After Indonesian President Soeharto’s departure in 1998, which resulted in a new era of reform in Indonesia, many youth associations were incorporated into local or national political parties in order to provide additional support for electoral candidates. Of those groups not focused on politics, many seek to raise collective piety, and offer youth involvement in radical organizations such as the Islam Defenders Front (FPI).

The radicalization of Muslim youth is taking place concurrently with the declining popularity of youth organizations focused on developing character and creativity. Karang Taruna — a network of youth organizations in villages that empower youth through activities like playing sports, learning financial skills and creating artwork — are rarely found these days.

The general chairman of Karang Taruna, Taufan E. N. Rotorasiko, says that one of the reasons Karang Taruna is both less attractive to youth and less active in conducting activities than in past years is that the Social Affairs Ministry, once the main patron of Karang Taruna, was disbanded during the presidency of Abdurrahman Wahid in 1999.

Involving young people in creative activities like art and sports can reduce the risk of them joining extremist groups because they have the opportunities to develop friendships with youth from different ethnic, religious and socioeconomic backgrounds, thereby increasing their tolerance of diversity.

For example, the students of Pesantren Pabelan in Magelang, Central Java, are involved in the International Award for Young People (IAYP), an international award program that is aimed at individuals between the ages of 14 and 25, and who are interested in engaging in a voluntary self-development program.

Nurul Faizah, IAYP’s program coordinator, works at an Islamic boarding school called Pesantren Pabelan. Faizah says that the program helps students be more open to differences in others’ backgrounds. For instance, student participants engage in discussions with peers from non-Muslim schools and play friendly sports matches with students from Catholic seminaries nearby.

There are also examples of successful youth associations at the university level, such as the Ciputat Student Forum, which is the oldest Indonesian student study club. Based in the Banten province, its activists develop open, democratic and critical thinking, and are committed to defending human rights. The club’s members also actively oppose discrimination against minorities.

These examples show that de-radicalization programs that encourage the growth of youth associations independent of politics should be part of the solution to stop radical movements.

Countering radical movements requires a soft approach. Sadly, one of the legacies of 9/11 was the so-called “war on terror”, which helped regenerate radical movements by attracting youth to radical, mainly anti-US causes.

There is a better way to combat radicalism and terrorism, which has been proven to work in Indonesia — and in many other countries. It is to empower youth, helping them achieve positive aspirations and, in the process, abandon negative and violent ones.

Following this path would provide youth with a better outlook for the future and a more fitting closure to the 9/11 tragedy.

The writer is a researcher at the Center for the Study of Islam and Society at the State Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Menang tanpa perang: memperkuat organisasi kepemudaan di Indonesia

oleh Testriono
02 September 2011

Jakarta – Baru-baru ini lewat media sosial saya bertegur sapa dengan beberapa teman yang dulu masih berada di bangku sekolah dasar atau sekolah menengah pertama ketika serangan teroris 11 September terjadi di Amerika Serikat. Sebagian besar dari anak-anak muda ini sepakat bahwa terorisme semacam itu tidak bisa dibenarkan. Qurrota Ayuni, 24, misalnya mengatakan: “Apa pun alasannya, serangan 11 September tidak bisa dibenarkan atas nama kemanusiaan. Teror itu membunuh ribuan orang tidak bersalah demi kepentingan sektarian yang sempit.”

Namun, perhatian utama para pemuda ini adalah dampak peristiwa 11 September pada negara mereka sendiri.

Sayangnya, di Indonesia dampak 11 September terkait dengan persepsi bahwa Barat sedang berperang dengan Islam – persepsi yang telah secara tidak langsung turut menambah jumlah anak muda Muslim ekstremis di Indonesia. Memperingati sepuluh tahun 11 September, yang tepat dilakukan adalah mendorong wahana-wahana damai agar pemuda terlibat dalam masyarakat.

Yang menyedihkan, sebagian anak muda, meski sedikit tetapi signifikan, telah ambil bagian dalam aksi teroris di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan. Misalnya, Januari lalu, polisi menangkap enam tersangka teroris yang berusia antara 19 dan 21 tahun di Klaten, Jawa Tengah.

Keterlibatan pemuda dalam gerakan ekstremis juga dibenarkan oleh survei yang diadakan di Jakarta dari 2010 hingga 2011 oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian. Survei tersebut mengungkap bahwa sebagian siswa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas memiliki kemauan untuk terlibat dalam berbagai tindak kekerasan, memberantas atau menggerebek klub-klub malam, menutup paksa rumah ibadah agama lain atau membantu Muslim di wilayah konflik dengan memasok senjata kepada mereka.

Yang penting dalam proses deradikalisasi pemuda adalah keterlibatan mereka berorganisasi. Sayangnya, organisasi-organisasi yang menyasar pemuda telah menurun dalam beberapa tahun belakangan. Setelah lengsernya Suharto pada 1998, yang menggulirkan reformasi, banyak perhimpunan pemuda tergabung dalam partai-partai politik, baik lokal atau nasional, demi memberi tambahan dukungan bagi para kandidat. Di antara organisasi-organisasi yang tidak terfokus pada politik pun, banyak yang berusaha meningkatkan kesalehan kolektif dan melibatkan pemuda dalam organisasi-organisasi radikal seperti Front Pembela Islam (FPI).

Radikalisasi pemuda Muslim saat ini terjadi seiring dengan menurunnya popularitas organisasi pemuda yang fokus pada pengembangan karakter dan kreativitas. Karang Taruna – yang merupakan jejaring pemuda di desa-desa yang memberdayakan pemuda lewat kegiatan seperti olahraga, pelatihan keterampilan keuangan dan seni – jarang ditemukan dewasa ini. Ketua Umum Karang Taruna, Taufan E. N. Rotorasiko, mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa Karang Taruna kurang menarik buat pemuda dan kurang aktif mengadakan kegiatan di tahun-tahun terakhir adalah karena Departemen Sosial, yang pernah menjadi pelindung utama Karang Taruna, dihapus pada masa Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999.

Melibatkan pemuda dalam kegiatan kreatif seperti seni dan olahraga bisa menurunkan risiko bergabungnya mereka dengan kelompok-kelompok ekstremis karena mereka mempunyai kesempatan untuk bergaul dengan para pemuda dari latar belakang etnis, agama dan sosio-ekonomi yang berbeda, dan karenanya meningkatkan toleransi mereka terhadap keragaman.

Misalnya, para santri di Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah, terlibat dalam International Award for Young People (IAYP), program penghargaan internasional yang ditujukan pada para individu berusia 14 hingga 25 tahun, yang tertarik dalam program pengembangan diri.

Nurul Faizah, kordinator program IAYP yang bekerja di Pesantren Pabelan, mengatakan bahwa program ini membantu para pelajar menjadi lebih terbuka pada perbedaan latar belakang orang lain. Misalnya, para pelajar peserta terlibat dalam diskusi dengan para pelajar dari sekolah non-Muslim dan memainkan pertandingan olahraga persahabatan dengan para pelajar dari seminari Katolik setempat.

Ada pula contoh-contoh keberhasilan perhimpunan pemuda di tingkat mahasiswa, seperti Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), yang terbilang kelompok diskusi mahasiswa tertua di Indonesia yang masih ada. Para aktivis Formaci mengembangkan pemikiran terbuka, demokratis dan kritis, dan berkomitmen memperjuangkan HAM. Para anggota Formaci juga secara aktif melawan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa program deradikalisasi yang mendorong tumbuhnya perkumpulan pemuda yang independen dari politik seharusnya menjadi bagian dari solusi untuk menghentikan gerakan-gerakan radikal.

Melawan gerakan-gerakan radikal butuh pendekatan yang lunak. Yang menyedihkan, salah satu warisan 11 September adalah apa yang disebut “perang melawan teror”, yang justru turut membuat gerakan-gerakan radikal bangkit dengan merekrut anak muda dalam perjuangan radikal anti-Amerika.

Ada cara yang lebih baik untuk memerangi radikalisme dan terorisme, yang terbukti berhasil di Indonesia – juga di banyak negara. Yaitu, memberdayakan pemuda, dengan membantu mereka mencapai cita-cita yang positif dan, dalam prosesnya, meninggalkan yang negatif dan bernuansa kekerasan. Bila cara ini diikuti, ini akan memberi pemuda cara pandang yang lebih baik terhadap masa depan, dan akhir yang lebih pas bagi tragedi 11 September.

###

* Testriono ialah peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Artikel ini adalah bagian dari seri peringatan sepuluh tahun tragedi 11 September yang ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 02 September 2011 2011, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh izin publikasi.

Winning without war: empowering youth associations in Indonesia

by Testriono
30 August 2011

Jakarta - I recently met some friends through social media who were elementary or junior high school students when the 9/11 terrorist attacks hit the United States. Most of these young people agree that such terrorism could never be warranted. For example, Qurrota Ayuni, 24, said: “Whatever the reasons behind the 9/11 attack, it cannot be justified in the name of humanity. It killed thousands of innocent people for the sake of narrow, sectarian interests.”

However, the main concern of these youth was the effect of 9/11 on their own country.

Unfortunately, in Indonesia the effects of 9/11 are linked to the perception that the West is at war with Islam – a perception that has indirectly contributed to an increase in the number of extremist Indonesian Muslim youth. For the upcoming tenth anniversary of 9/11, a fitting legacy is to encourage peaceful outlets for youth to engage in society.

Sadly, a small but significant number of Indonesian youth have taken part in terrorist attacks in the country in recent years. For instance, in January 2011 police arrested six terrorist suspects between the ages of 19 and 21 in Klaten, Central Java.

Muslim youth involvement in extremist movements was also confirmed by a survey conducted in Jakarta from 2010 to 2011 by the Institute for Studies on Islam and Peace. The survey revealed that some junior and senior high school students are willing to engage in various acts of violence, shut down or attack night clubs, forcibly close houses of worship of other faiths or aid Muslims in conflict zones by providing them with weapons.

Important to the process of de-radicalising youth is their involvement in meaningful organisations. Sadly, associations targeting youth have been on the decline in recent years. After Indonesian President Suharto’s departure in 1998, which resulted in a new era of reform in Indonesia, many youth associations were incorporated into local or national political parties in order to provide additional support for electoral candidates. Of those groups not focused on politics, many seek to raise collective piety, and offer youth involvement in radical organisations such as the Islamic Defender Front (FPI).

The radicalisation of Muslim youth is taking place concurrently with the declining popularity of youth organisations focused on developing character and creativity. Karang Taruna – a network of youth organisations in villages that empower youth through activities like playing sports, learning financial skills and creating artwork – are rarely found these days. The General Chairman of Karang Taruna, Taufan E. N. Rotorasiko, says that one of the reasons Karang Taruna is both less attractive to youth and less active in conducting activities than in past years is that the Ministry of Social Affairs, once the main patron of Karang Taruna, was disbanded during the presidency of Abdurrahman Wahid in 1999.

Involving young people in creative activities like art and sports can reduce the risk of them joining extremist groups because they have the opportunities to develop friendships with youth from different ethnic, religious and socio-economic backgrounds, thereby increasing their tolerance of diversity.

For example, the students of Pesantren Pabelan in Magelang, Central Java, are involved in the International Award for Young People (IAYP), an international award programme that is aimed at individuals between the ages of 14 and 25, and who are interested in engaging in a voluntary self-development programme.

Nurul Faizah, IAYP's programme coordinator, works at an Islamic boarding school called Pesantren Pabelan. Faizah says that the programme helps students be more open to differences in others’ backgrounds. For instance, student participants engage in discussions with peers from non-Muslim schools and play friendly sports matches with students from Catholic seminaries nearby.

There are also examples of successful youth associations at the university level, such as the Ciputat Student Forum, which is the oldest Indonesian student study club. Based in the Banten province, its activists develop open, democratic and critical thinking, and are committed to defending human rights. The club’s members also actively oppose discrimination against minorities.

These examples show that de-radicalisation programmes that encourage the growth of youth associations independent of politics should be part of the solution to stop radical movements.

Countering radical movements requires a soft approach. Sadly, one of the legacies of 9/11 was the so-called “war on terror”, which helped regenerate radical movements by attracting youth to radical, mainly anti-US causes.

There is a better way to combat radicalism and terrorism, which has been proven to work in Indonesia – and in many other countries. It is to empower youth, helping them achieve positive aspirations and, in the process, abandon negative and violent ones. Following this path would provide youth with a better outlook for the future and a more fitting closure to the 9/11 tragedy.

###

* Testriono is a researcher at the Center for the Study of Islam and Society at the State Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta. This article is part of a series marking the tenth anniversary of 9/11 written for the Common Ground News Service (CGNews).

Source: Common Ground News Service (CGNews), 30 August 2011, www.commongroundnews.org
Copyright permission is granted for publication.

Selasa, 23 Agustus 2011

Upaya Indonesia pertahankan multikulturalisme

oleh Testriono
01 Juli 2011



Jakarta – Berbagai kasus intoleransi beragama di Indonesia belakangan ini telah membuat sebagian pengamat khawatir kalau pujian Presiden AS Barack Obama terhadap toleransi beragama di Indonesia saat lawatannya ke Indonesia November 2010 cumalah dilebih-lebihkan. Berbagai pernyataan warga masyarakat dan keputusan pejabat pemerintah telah ikut menyudutkan kelompok agama minoritas dan memperburuk konflik antara kelompok agama minoritas dan warga Muslim Sunni yang merupakan mayoritas di beberapa komunitas.

Para pejabat negara sekarang sering melihat isu kebebasan beragama melalui kacamata kepentingan politik tertentu. Misalnya, belakangan pemerintah sudah kian sering menekan dan meminggirkan kelompok agama minoritas. Upaya yang dilakukan pemerintah cukup beragam, mulai dari melarang praktik ibadah atau praktik keagamaan dan membatasi pintu masuk untuk mendapat pekerjaan berdasarkan aturan berpakaian, hingga menolak memberi izin pembangunan tempat ibadah dan menerapkan tafsiran syariat Islam yang konservatif. Para pejabat pemerintah secara keliru mengira kalau aksi-aksi ini akan bisa meredakan konflik dan mendongkrak popularitas mereka.

Sejak merdeka pada 1945, Indonesia telah mempersilakan para penganut dari berbagai macam agama untuk mengamalkan agama mereka. Meskipun penduduk Indonesia mayoritasnya Muslim, berbagai agama dan aliran Islam yang berbeda bisa hidup berdampingan secara damai. Selama berabad-abad, masjid-masjid Sunni dan Syiah berdiri di dekat kuil-kuil Budha dan Hindu (yang beberapa di antaranya dibangun pada abad ke-9) dan sejumlah gereja Kristen (yang beberapa di antaranya dibangun pada abad ke-17). Bahkan aliran Ahmadiyah, yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad dari India, dan masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20, relatif tidak pernah mendapat gangguan hingga beberapa tahun belakangan.

Untungnya, toleransi beragama di Indonesia bukanlah hanya wewenang pemerintah, dan ada kelompok-kelompok masyarakat yang secara aktif mencoba mengisi celah. Kendati ada tren mengkhawatirkan di kalangan pemerintah untuk berlepas diri dari konflik di antara kelompok-kelompok agama, alih-alih menanganinya, kita tidak boleh melupakan adanya banyak prakarsa membangun yang sedang berjalan di Indonesia, yang ingin menjembatani perpecahan di antara berbagai komunitas agama, entah sifatnya antaragama ataupun internal agama.

Penghargaan perlu diberikan kepada organisasi-organisasi masyarakat sipil karena mereka kini menjadi pilar kerukunan agama di Indonesia. Pada Maret 2011, misalnya, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta, bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kanada, menggelar sebuah konferensi internasional di Jakarta untuk mendorong multikulturalisme di Asia Tenggara. Konferensi yang dihadiri oleh cendekiawan dari berbagai negara di Asia Tenggara, Kanada serta Australia ini, menjadi sebuah kesempatan untuk berbagi pengalaman dalam hal praktik multikulturalisme, dan telah membangkitkan minat untuk melakukan upaya bilateral ataupun multilateral guna menyatukan kekuatan dan melawan radikalisasi yang muncul.

Di lapangan, multikulturalisme juga sedang didorong melalui program-program pelatihan di sekolah-sekolah keagamaan. Program-program ini memberi para guru maupun murid berbagai pengalaman merasakan kemanusiaan bersama dalam kehidupan sehari-hari kita. Program-program ini dijalankan oleh para aktivis masyarakat sipil dari lembaga-lembaga seperti Yayasan Paramadina (yayasan yang banyak berkecimpung dalam dunia pendidikan) yang bekerjasama dengan The Asia Foundation, organisasi non-pemerintah yang berkomitmen pada pembangunan kawasan Asia-Pasifik yang damai dan sejahtera, dan Karuna Bali Foundation, organisasi non-pemerintah yang memberi orang-orang di Bali dan tempat lain kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan mengembangkan diri.

Lebih dari 300 guru telah mereka latih mengenai teknik untuk mendorong nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti cinta, perdamaian dan penghargaan dalam kurikulum sekolah mereka masing-masing. Nilai-nilai positif adalah salah satu dasar bagi perkembangan mental anak-anak, dan dalam suatu lingkungan yang sadar nilai dan saling menghargai, para murid bisa mengembangkan minat dan kemampuan mereka untuk bekerja demi perdamaian, menghormati orang lain dan menghindari kekerasan.

Organisasi-organisasi masyarakat sipil di Indonesia terus melahirkan berbagai gagasan dan prakarsa baru untuk menopang dan mempertahankan kerukunan beragama. Kendati kelompok-kelompok radikal terkadang masih mengganggu ketertiban, mereka menghadapi perlawanan luar biasa dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mencintai negara mereka, ingin hidup secara rukun dan bekerja tanpa mengenal lelah mendorong multikulturalisme dalam masyarakat.

Organisasi-organisasi masyarakat sipillah yang banyak bekerja mengubah kebijakan pemerintah yang melenceng dari prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan dan HAM. Pujian Obama sudah semestinya dialamatkan kepada mereka.

###

* Testriono ialah peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 1 Juli 2011, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh izin publikasi.

Indonesian efforts to defend multiculturalism


by Testriono

28 June 2011




Jakarta - Recent cases of religious intolerance in Indonesia have led some observers to worry that US President Barack Obama's praise of religious tolerance in Indonesia during his visit in November 2010 was exaggerated. Public statements and decrees from Indonesian government officials have discredited religious minority groups and exacerbated conflict between minority religious groups and the largely Sunni Muslim population in some Indonesian communities.

Contemporary state officials in Indonesia often consider religious freedom issues through the lens of their particular political interests. For example, it has become popular lately among government officials in Indonesia to restrict and marginalise religious minority groups. Their efforts range from banning worship or religious practices and restricting access to jobs based on religious dress codes, to turning down permits to build places of worship and implementing conservative interpretations of Islamic law. They mistakenly believe that these actions will ease conflicts and increase their own popularity.

Since it was founded in 1945, Indonesia has welcomed people of all faiths to practice their religion. Although the population in Indonesia is predominantly Muslim, various faiths and different Muslim sects co-exist peacefully. For centuries, both Sunni and Shiite mosques have stood side-by-side with Buddhist and Hindu temples (some of which date back to the 9th century) and Indonesia’s numerous Christian churches (some established as early as the 17th century). Even the Ahmadi religious group which came to Indonesia at the beginning of the 19th century – founded by Mirza Ghulam Ahmad, an Indian religious leader who claimed he was the promised messiah foretold by the Prophet Muhammad –was left mostly undisturbed until recent years.

Fortunately, religious tolerance in Indonesia is not the exclusive domain of the government, and other groups are actively trying to fill the gap. Despite a worrisome trend among officials to avoid, rather than deal with, conflict between religious groups, it is important not to forget the many constructive initiatives that are on-going in Indonesia to bridge divides between various religious communities, whether inter- or intra-religious.

Credit should be given to civil society organisations in Indonesia since they are currently the pillars of religious harmony in Indonesia. In March 2011, for example, the Center for the Study of Islam and Society at the State Islamic University in Jakarta, in collaboration with the Canadian Embassy, organised an international conference in Jakarta to promote multiculturalism in Southeast Asia. Attended by scholars from countries in Southeast Asia, Canada and Australia, the conference was an opportunity for sharing experiences on the practice of multiculturalism and has sparked interest to establish bilateral or multilateral efforts to pool resources and confront rising radicalisation.

Multiculturalism is also being promoted on the ground in Indonesia through training programmes in religious schools. These programmes introduce both teachers and students to a variety of ways to experience a sense of common humanity in our daily lives, and are run by civil society activists from organisations such as the Paramadina Foundation (an organisation involved in education) that is working in collaboration with The Asia Foundation, a non-governmental organisation committed to the development of a peaceful and prosperous Asia-Pacific region, and the Karuna Bali Foundation, a non-governmental organisation providing those in Bali and elsewhere with opportunities in education and individual growth.

More than 300 teachers have been trained in techniques to promote universal human values, such as love, peace and respect within the curriculum of their respective schools. Positive values are one cornerstone for mental development in children, and in a value-based and respectful environment, students can develop their interest and capacity to work for peace, respect others and avoid violence.

Indonesian civil society groups are constantly producing new ideas and initiatives to support and maintain religious harmony. Although radicalised groups are still disturbing the peace, they face formidable resistance from civil society groups who love their country, are eager to live in harmony and are working tirelessly to promote multiculturalism within the society.

Civil society groups are the ones who are working to change government policies that betray the principles of democracy, freedom and human rights and Obama’s praise should be directed to them.

###

* Testriono is a researcher at the Center for the Study of Islam and Society at the State Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta. This article was written for the Common Ground News Service (CGNews).

Source: Common Ground News Service (CGNews), 28 June 2011, www.commongroundnews.org
Copyright permission is granted for publication.

Pengalaman Indonesia mengurangi ketakutan munculnya negara agama radikal di Tunisia/Mesir


oleh Testriono
01 April 2011

Jakarta – Banyak sarjana pesimis kalau Revolusi Melati Tunisia dan transisi politik di Mesir akan bisa melahirkan demokrasi di kedua negara ini, dan mereka khawatir akan bahaya munculnya kelompok-kelompok politik Islam, yang sebagiannya punya tafsiran radikal terhadap syariat, yang akan banyak berperan dalam masa transisi politik.

Apakah pendapat bahwa Islam tak selaras dengan demokrasi ada benarnya?

Yang terjadi di Indonesia menunjukkan sebaliknya.

Indonesia mengalami transisi politik besar yang bermula dengan dilengserkannya rezim otoriter yang berkuasa 32 tahun lewat gerakan reformasi 1998, yang mirip dengan situasi di Tunisia dan Mesir saat ini.

Transisi menuju demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa Islam, sebagai agama dan budaya, sebenarnya selaras dengan demokrasi. Dukungan besar bagi konsep demokrasi dan negara-bangsa oleh kaum Muslim di Indonesia, bertentangan dengan pemikiran para sarjana yang berpendapat bahwa Islam dan demokrasi tidaklah selaras dan karenanya negara-negara mayoritas Muslim memang ditakdirkan punya pemerintahan otokratis.

Meskipun beberapa negara mayoritas Muslim punya masalah dengan kelompok-kelompok politik Islam radikal, Indonesia mengalami konsolidasi politik yang damai, yang melibatkan berbagai kelompok dengan pandangan politik yang berbeda-beda. Di parlemen, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang dianggap sebagai partai politik Islam pasca reformasi terbesar, mengusung berbagai agenda nasional bersama-sama dengan partai-partai sekuler.

Indonesia memang menghadapi tuntutan beberapa kelompok untuk menerapkan tafsiran ketat atas hukum Islam di sejumlah daerah, terutama di Aceh, di mana perempuan diwajibkan mengenakan jilbab berdasarkan hukum setempat tentang busana Islami. Tindakan-tindakan semacam itu telah menjadi dalih bagi kelompok-kelompok politik Islam lainnya untuk mencoba melakukan hal yang sama di tempat lain. Namun, mayoritas Muslim Indonesia menjunjung tinggi hak keagamaan bagi semua kelompok seperti dijamin oleh konstitusi dan tidak mendukung penerapan formal hukum Islam yang konservatif.

Meski ini membuktikan bahwa Islam dan demokrasi bisa berdampingan di Indonesia, apakah ini mesti membawa kesimpulan serupa untuk Timur Tengah dan Afrika Utara?

Robert W. Hefner, antropolog dari Boston University, memandang bahwa Indonesia berbeda karena adanya organisasi-organisasi Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (yang masing-masing punya sekitar empat puluh puluh juta dan tiga puluh sembilan juta pengikut). Kegiatan-kegiatan sosial mereka, seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga-lembaga sosial lainnya, telah memberikan contoh bagaimana menyeimbangkan ajaran-ajaran Islam, demokrasi dan pembangunan-bangsa. Para aktivis NU dan Muhammadiyah juga telah terlibat dalam berbagai aktivitas seperti gerakan anti-korupsi, penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik, dan membantu mengembangkan kebijakan publik dan pendanaan di pemerintah-pemerintah daerah.

Sebagian peneliti memandang perbedaan itu karena kecenderungan kultural masyarakat Indonesia untuk menghindari konflik. Cendekiawan Indonesia, Taufik Abdullah, misalnya, mengatakan bahwa besarnya organisasi-organisasi Islam di Indonesia, yang tidak terpecah menjadi organisasi-organisasi kecil, telah membuat Muslim Indonesia tampak lebih bersatu, dan menerima penafsiran keagamaan inklusif yang populer karena mereka menjauhi kontroversi atau konflik keagamaan.

Cendekiawan Islam dari Indonesia, Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Muslim di Indonesia menekankan watak akomodatif Islam. Itulah mengapa mereka dengan mudah menerima demokrasi, HAM dan gagasan-gagasan lain yang relatif baru.

Pengalaman Indonesia memberi dua wawasan bagi demokrasi yang tengah tumbuh di Timur Tengah dan Afrika Utara: pertama, organisasi masyarakat sipil Islam bisa memainkan peran aktif dalam memperkuat negara demokrasi; dan kedua, keragaman dalam Islam bisa menjadi kekuatan yang bisa mendorong diterimanya perubahan dan perbedaan dalam masyarakat, dan menginspirasi tidak saja kesalehan individual dan cita-cita politik, tetapi juga bermacam prakarsa kemanusiaan yang diperlukan bagi pembangunan-bangsa.

###

* Testriono (testriono@gmail.com) ialah peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 01 April 2011, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh izin publikasi.

Indonesian example counters fears of radical religious states in Tunisia/Egypt

by Testriono

29 March 2011




Jakarta - Many scholars are pessimistic that Tunisia’s Jasmine Revolution and the political transition in Egypt will successfully bring about democracy in these countries, and worry that there is a significant risk of Islamic political groups, some with radical interpretations of shari’a (Islamic principles of jurisprudence), taking on an inordinately influential role during the political transition.

Is there any truth to the argument that Islam is incompatible with democracy?

The Indonesian example suggests otherwise.

Indonesia underwent a major political transition that started with the toppling of a 32-year-old authoritarian regime during the Reform movement of 1998, similar to the situation in Tunisia and Egypt today.

The Indonesian transition to democracy indicates that Islam, as a religion and culture, is indeed compatible with democracy. The support for the concepts of democracy and the nation-state by Muslims in Indonesia contradicts the notions of those scholars who believe that Islam and democracy are incompatible and therefore Muslim-majority countries are doomed to autocratic rule.

Although some Muslim-majority countries have been troubled by radical Islamic political groups, Indonesia has experienced a peaceful political consolidation, which has included groups with diverse political platforms. In the parliament, the Prosperous Justice Party (PKS), which is considered to be the largest post-reform Islamic political party, tackles various national agendas together in collaboration with secular parties.

Indonesia does face demands by some groups to implement strict interpretations of Islamic law in various regions, most notably in Aceh, where women are obliged to wear a headscarf (locally called the jilbab) under a by-law on Islamic dress. Such actions have become rallying points for other Islamic political groups to do the same elsewhere. However, the majority of Indonesian Muslims hold dearly to the religious rights of all groups as protected under the constitution and have not endorsed the formal implementation of a conservative type of Islamic law.

While this proves that Islam and democracy can coexist in Indonesia, does it necessarily lead to a similar conclusion in the Middle East and North Africa?

Robert W. Hefner, an anthropologist from Boston University, credits large Indonesian Islamic organisations such as Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah (with approximately 80 million and 14 million members respectively) with making a difference in Indonesia. Their social activities, such as establishing schools, hospitals, orphanages and other social institutions, have set examples for how to balance Islamic principles, democracy and nation-building. Their activists also have been engaged in activities such as an anti-corruption movement, creating good governance, and helping develop public policy and budgeting in local governments.

Some scholars credit the Indonesian cultural tendencies of conflict avoidance. For example, Indonesian scholar Taufik Abdullah says that the large sizes of Islamic organisations in Indonesia, as opposed to being splintered into smaller organisations, have made Indonesian Muslims appear more unified, adopting popular, inclusive religious interpretations as they avoid religious-based controversies or conflict.

An Islamic scholar from Indonesia, Azyumardi Azra, says that Muslims in Indonesia emphasise the accommodative nature of Islam, which is why they easily accepted democracy, human rights and other relatively new ideas.

The Indonesian experience offers two insights for emerging democracies in the Middle East and North Africa: one, Islamic civil society organisations can play an active role in strengthening democratic states; and two, the diversity within Islam can be a strength which can encourage the acceptance of change and societal differences, and inspire not only individual piety and political ideals, but also the type of humanitarian initiatives necessary for nation-building.

###

* Testriono (testriono@gmail.com) is a researcher at the Center for the Study of Islam and Society (PPIM) at the State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. This article was written for the Common Ground News Service (CGNews).

Source: Common Ground News Service (CGNews), 29 March 2011, www.commongroundnews.org
Copyright permission is granted for publication.