Selasa, 23 Agustus 2011

Pengalaman Indonesia mengurangi ketakutan munculnya negara agama radikal di Tunisia/Mesir


oleh Testriono
01 April 2011

Jakarta – Banyak sarjana pesimis kalau Revolusi Melati Tunisia dan transisi politik di Mesir akan bisa melahirkan demokrasi di kedua negara ini, dan mereka khawatir akan bahaya munculnya kelompok-kelompok politik Islam, yang sebagiannya punya tafsiran radikal terhadap syariat, yang akan banyak berperan dalam masa transisi politik.

Apakah pendapat bahwa Islam tak selaras dengan demokrasi ada benarnya?

Yang terjadi di Indonesia menunjukkan sebaliknya.

Indonesia mengalami transisi politik besar yang bermula dengan dilengserkannya rezim otoriter yang berkuasa 32 tahun lewat gerakan reformasi 1998, yang mirip dengan situasi di Tunisia dan Mesir saat ini.

Transisi menuju demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa Islam, sebagai agama dan budaya, sebenarnya selaras dengan demokrasi. Dukungan besar bagi konsep demokrasi dan negara-bangsa oleh kaum Muslim di Indonesia, bertentangan dengan pemikiran para sarjana yang berpendapat bahwa Islam dan demokrasi tidaklah selaras dan karenanya negara-negara mayoritas Muslim memang ditakdirkan punya pemerintahan otokratis.

Meskipun beberapa negara mayoritas Muslim punya masalah dengan kelompok-kelompok politik Islam radikal, Indonesia mengalami konsolidasi politik yang damai, yang melibatkan berbagai kelompok dengan pandangan politik yang berbeda-beda. Di parlemen, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang dianggap sebagai partai politik Islam pasca reformasi terbesar, mengusung berbagai agenda nasional bersama-sama dengan partai-partai sekuler.

Indonesia memang menghadapi tuntutan beberapa kelompok untuk menerapkan tafsiran ketat atas hukum Islam di sejumlah daerah, terutama di Aceh, di mana perempuan diwajibkan mengenakan jilbab berdasarkan hukum setempat tentang busana Islami. Tindakan-tindakan semacam itu telah menjadi dalih bagi kelompok-kelompok politik Islam lainnya untuk mencoba melakukan hal yang sama di tempat lain. Namun, mayoritas Muslim Indonesia menjunjung tinggi hak keagamaan bagi semua kelompok seperti dijamin oleh konstitusi dan tidak mendukung penerapan formal hukum Islam yang konservatif.

Meski ini membuktikan bahwa Islam dan demokrasi bisa berdampingan di Indonesia, apakah ini mesti membawa kesimpulan serupa untuk Timur Tengah dan Afrika Utara?

Robert W. Hefner, antropolog dari Boston University, memandang bahwa Indonesia berbeda karena adanya organisasi-organisasi Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (yang masing-masing punya sekitar empat puluh puluh juta dan tiga puluh sembilan juta pengikut). Kegiatan-kegiatan sosial mereka, seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga-lembaga sosial lainnya, telah memberikan contoh bagaimana menyeimbangkan ajaran-ajaran Islam, demokrasi dan pembangunan-bangsa. Para aktivis NU dan Muhammadiyah juga telah terlibat dalam berbagai aktivitas seperti gerakan anti-korupsi, penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik, dan membantu mengembangkan kebijakan publik dan pendanaan di pemerintah-pemerintah daerah.

Sebagian peneliti memandang perbedaan itu karena kecenderungan kultural masyarakat Indonesia untuk menghindari konflik. Cendekiawan Indonesia, Taufik Abdullah, misalnya, mengatakan bahwa besarnya organisasi-organisasi Islam di Indonesia, yang tidak terpecah menjadi organisasi-organisasi kecil, telah membuat Muslim Indonesia tampak lebih bersatu, dan menerima penafsiran keagamaan inklusif yang populer karena mereka menjauhi kontroversi atau konflik keagamaan.

Cendekiawan Islam dari Indonesia, Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Muslim di Indonesia menekankan watak akomodatif Islam. Itulah mengapa mereka dengan mudah menerima demokrasi, HAM dan gagasan-gagasan lain yang relatif baru.

Pengalaman Indonesia memberi dua wawasan bagi demokrasi yang tengah tumbuh di Timur Tengah dan Afrika Utara: pertama, organisasi masyarakat sipil Islam bisa memainkan peran aktif dalam memperkuat negara demokrasi; dan kedua, keragaman dalam Islam bisa menjadi kekuatan yang bisa mendorong diterimanya perubahan dan perbedaan dalam masyarakat, dan menginspirasi tidak saja kesalehan individual dan cita-cita politik, tetapi juga bermacam prakarsa kemanusiaan yang diperlukan bagi pembangunan-bangsa.

###

* Testriono (testriono@gmail.com) ialah peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 01 April 2011, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh izin publikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar