Selasa, 23 Agustus 2011

Menyegel Kebebasan Beragama


Kolom, 12/01/2011


Oleh Testriono

Menutup tahun 2010, Moderate Muslim Society (MMS) dan The Wahid Institute merilis hasil pemantauannya atas kehidupan keberagamaan di Indonesia dalam setahun terakhir. Dalam catatan MMS, terdapat 81 kasus intoleransi agama pada 2010, 63 di antaranya (80 persen) adalah aksi serangan terhadap rumah ibadah. Sementara pantauan The Wahid Institute di 13 provinsi sepanjang 2010 menemukan 63 kasus pelanggaran kebebasan beragama, 19 kasus (30 persen) di antaranya terkait pencabutan izin atau pelarangan menggunakan rumah ibadah.

Laporan tersebut menegaskan fakta meningkatnya aksi penyegelan terhadap rumah ibadah pemeluk agama minoritas di Indonesia yang menguat dalam beberapa tahun belakangan. Dalih “meresahkan warga” menjadi dasar, khususnya bagi beberapa ormas Islam, untuk melakukan semacam “regulasi sosial” itu. 

Memang, terjadi peningkatan kasus pelarangan beribadah dan penutupan gereja secara signifikan dalam kurun waktu 2010 ini. Fakta tersebut terdapat dalam laporan Setara Institute pada pertengahan 2010 lalu. Menurut laporan itu, jika pada tahun 2008 terdapat 17 kasus, pada tahun 2009 terdapat 18 kasus, maka pada paruh pertama 2010 terdapat 28 kasus penolakan dan penyerangan terhadap rumah ibadah. 

Kenyataan itu sungguh ironis, karena di alam demokrasi yang mengutamakan nilai-nilai kebebasan seperti sekarang, kebebasan beragama justru terancam. Menurut catatan Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ), pasca-Orde Baru serangan terhadap gereja meningkat tajam. Antara 1998 sampai 2010, terdapat sekitar 700 kasus serangan terhadap gereja, meningkat dari 460 kasus di masa Orde Baru (1969-1998).

Padahal, hak atas kebebasan berkeyakinan, beragama, dan beribadah telah dijamin secara gamblang dalam konstitusi dan regulasi negara. Jaminan tersebut tersurat dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, serta Pasal 22 Undang Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jaminan serupa juga bisa kita temukan pada beberapa hukum internasional yang telah diratifikasi pemerintah, seperti Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Diskriminasi
Terkait rumah ibadah, pemerintah membuat aturan khusus melalui Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah. PBM inilah yang umumnya digunakan oleh kelompok tertentu untuk mempersulit dan menentang pendirian sebuah gereja.

PBM tahun 2006 memang berpeluang diskriminatif. Celah diskriminasi itu di antaranya terletak pada aturan bahwa pendirian rumah ibadah wajib memenuhi daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) 60 orang masyarakat setempat yang disahkan kepala desa atau lurah. 

Di wilayah tertentu yang masyarakatnya toleran, persyaratan itu tidak jadi masalah. Tapi di daerah yang kurang toleran, pendirian rumah ibadah bisa terhambat. Apalagi, menurut survei Lembaga Survei Indonesia (LSI)-Lazuardi Birru 2010, mayoritas muslim Indonesia umumnya tidak toleran terkait rumah ibadah, yaitu sebanyak 64,9% di antaranya keberatan di daerahnya dibangun rumah ibadah agama lain. Selain itu, persyaratan dukungan masyarakat juga rawan dijadikan lahan bisnis lewat cara menukar dukungan dengan kompensasi sejumlah uang. Jika panitia pembangunan rumah ibadah menolak membayar, pembangunan akan dipersoalkan.

Aturan negara seperti diwujudkan dalam PBM tentu sah-sah saja, apalagi memang dimaksudkan untuk membangun kerukunan antar-umat beragama. Sayangnya, aturan tersebut terjebak pada tendensi diskriminasi, sehingga oleh banyak kalangan minoritas dirasakan lebih menguntungkan mayoritas muslim. Padahal, seyogyanya sebuah aturan dibuat untuk menciptakan keadilan dan melindungi seluruh masyarakat, termasuk kelompok minoritas. 

Kebebasan beragama bukannya tidak dapat dibatasi melalui regulasi. Menurut pakar hak asasi manusia dari Norwegia, Nicola Colbran (2010), dalam hak kebebasan beragama terkandung dua kebebasan: internal dan eksternal. Kebebasan internal menunjuk hak setiap orang untuk memeluk satu agama berdasarkan pilihannya sendiri. Hak inilah yang berdasar konstitusi tak bisa dikurangi dan dibatasi. 

Sementara kebebasan eksternal, yakni kebebasan menjalankan ajaran agama, tunduk pada pembatasan. Berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, kebebasan menjalankan ajaran agama hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum untuk melindungi (1) keamanan, (2) ketertiban, (3) kesehatan, (4) moral masyarakat, dan (5) hak-hak dasar orang lain. Dengan demikian, dalih meresahkan warga tidak bisa dijadikan dasar untuk membatasi kebebasan menjalankan agama, karena yang dimaksud Kovenan adalah keamanan dan ketertiban individu atau masyarakat. 

Revisi PBM
Terjadinya banyak konflik pendirian gereja menjadi momentum bagi pemerintah untuk merevisi aturan pendirian rumah ibadah seperti tercantum dalam PBM tahun 2006. Fakta bahwa PBM menjadi salah satu faktor yang memicu berbagai konflik pendirian rumah ibadah harus disadari oleh pemerintah. Evaluasi atas kehidupan keberagamaan selama empat tahun terakhir adalah cara paling tepat untuk menilai apakah PBM berkontribusi atau malah kontraproduktif bagi kerukunan hidup umat beragama. 

Selain itu, mengacu pada konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah, adalah ganjil jika pendirian rumah ibadah harus disetujui oleh umat agama lain, bukan karena kebutuhan beribadah umat itu sendiri. Apalagi, mekanisme pendirian dan peruntukan rumah ibadah sebuah agama berbeda-beda. Maka, pemerintah perlu merumuskan aturan yang lebih netral, fleksibel, dan adil bagi semua agama berdasarkan kebutuhan pemeluk agama. 

Terakhir, menyikapi berbagai konflik rumah ibadah, lagi-lagi kita membutuhkan pemerintah yang tegas, tidak diskriminatif, dan mampu berdiri di atas semua agama seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Pembelaan Presiden Barack Obama terhadap rencana kontroversial pembangunan masjid di dekat Ground Zero, lokasi bekas reruntuhan gedung World Trade Centre (WTC), dapat menjadi contoh. Atas dasar konstitusi dan kebebasan beragama, Obama menyatakan bahwa umat muslim yang minoritas di sana memiliki hak untuk membangun rumah ibadah, seperti halnya agama apa pun di Amerika Serikat. Dan Obama rela dikecam oleh pihak-pihak yang tidak menyetujui rencana pembangunan masjid tersebut.

Dalam transisi demokrasi sekarang ini konflik berbasis agama rawan terjadi. Kita berharap pemerintah, khususnya Kementerian Agama, dapat menyikapi konflik keagamaan dengan selalu menyandarkan diri pada konstitusi, bukan malah terperangkap pada fanatisme sempit, pandangan sektarian, atau pemihakan pada agama tertentu. 

*Testriono, peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar