Selasa, 23 Agustus 2011

Menyegarkan Kembali Pembaharuan Islam Indonesia

Koran Tempo, Jumat, 14 Januari 2011


*) Kolom ini ditulis Muhammad Ja’far, Peneliti di Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta bersama Testriono, peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dinamika keberagamaan di Indonesia pada dekade terakhir ini adalah basis penting untuk mengevaluasi gerak pembaharuan Islam kini. Realitas keberagamaan tersebut merupakan ekspresi sekaligus aktualisasi dari gagasan pemikiran keislaman sebagai sumbunya. Kenyataannya, api pembaharuan Islam tetap masih menyala. Tapi jangkauan capaiannya, baik “lebar” maupun “kedalamannya”, itu yang penting untuk dievaluasi.

Kita bisa mencermati persoalan ini melalui dua tataran. Di tingkat bawah, model keberagamaan eksklusif dan cenderung antipluralisme tumbuh agresif dan menjadi ancaman bagi karakter moderat muslim Indonesia. Keberagamaan model ini, setidaknya, terbagi ke dalam dua arus.

Pertama, munculnya kelompok-kelompok tertentu yang, meski minoritas dari segi jumlah, mengaktualisasi pendekatan kekerasan terhadap perbedaan paham dan pemikiran keagamaan. Tindakan-tindakan yang cenderung intoleran dan anarkistis, seperti perusakan rumah ibadah dan penyerangan terhadap kelompok agama tertentu, menjadi ekspresi khas kelompok ini. Selama 2010, kita memiliki beberapa catatan kasus seputar penyegelan rumah ibadah Kristiani, penyerangan terhadap penganut Ahmadiyah, dan beberapa tindakan dengan kecenderungan serupa.

Kedua, terbangunnya jaringan kelompok tertentu yang menyuburkan ideologi Islamisme dengan mengambil jalur jihad dalam bentuk aksi kekerasan. Untuk persoalan ini, negara kita memiliki catatan positif selama kurun tahun 2010, dengan telah ditangkapnya sejumlah pemimpin teroris di beberapa daerah. Ini signifikan dalam memutus jalinan rantai kelompok ini, namun belum menyelesaikan bongkahan masalahnya. Sebab, gerakan ini disulut oleh spirit ideologi tertentu, yang tidak bisa dilawan kecuali dengan pendekatan paradigmatik. Pendekatan militeristik tidak memiliki daya jangkau yang “mendalam” sampai aspek kognitif.

Di tataran atas, kita memiliki problem pada aspek regulasi kenegaraan yang berefek pada dimensi pengaturan kehidupan beragama. Dalam konteks ini, penyikapan pemerintah terhadap konflik keagamaan belumlah seperti yang diharapkan. Sejumlah regulasi yang sudah tidak relevan dalam konteks demokrasi, bertendensi diskriminatif, dan menjadi ancaman bagi kebebasan beragama, masih dipertahankan. Pada 2010, efek dari persoalan ini semakin terasa dengan meletupnya berbagai persoalan pada tingkat akar rumput.

Terasa ada kelimbungan untuk meneguhkan sebuah formulasi kebijakan. Regulasi yang menyangkut kehidupan beragama terasa memiliki dua kaki. Keinginan untuk menciptakan iklim keagamaan yang mencerminkan kemoderatan Islam Indonesia tidak terpancar dalam komitmen untuk memformulasikan regulasi yang mendukung pencapaian tujuan tersebut. Apakah ini efek dari tarik-menarik pada wilayah politik, perlu ditelusuri lebih jauh.

Bersamaan dengan itu, nilai-nilai etik Islam, seperti keadilan dan kejujuran, belum menjadi langgam memerintah. Pemerintahan yang bersih dan amanah (good governance), bebas dari korupsi dan mengutamakan rakyat, belum menjadi urat nadi birokrasi kita.

Dinamika gagasan
Kenyataan-kenyataan tersebut membuat kita perlu mencermati peran pembaharuan Islam dalam mewujudkan Islam rahmatan lil’alamin di Indonesia. Dalam konteks Indonesia modern, empat dekade sudah usia gerakan pembaharuan Islam dalam rangka mendobrak kekakuan berpikir dan membuka wacana kritis seputar esensi agama, humanisme, dan keadilan sosial.

Para pembaharu generasi Nurcholish dan kawan-kawan relatif berhasil memperkenalkan tema sekularisasi, liberalisasi, dan pluralisme dalam pemikiran pembaharuan Islam. Mereka juga mempromosikan pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam studi Islam serta mengintegrasikan lembaga pendidikan Islam tradisional pesantren dengan lembaga swadaya masyarakat dalam program-program pemberdayaan masyarakat. Tujuan utama upaya-upaya tersebut adalah perubahan di tubuh umat: terciptanya masyarakat muslim yang maju dan modern, inklusif, pluralis, sekaligus berwawasan keindonesiaan.

Beberapa dekade setelah itu, kita memang menyaksikan kantong-kantong pembaharuan Islam tumbuh dan menyebar di berbagai kota di Indonesia. Anak-anak muda dengan ide-ide keislaman yang progresif meramaikan aktivisme pembaharuan Islam. Namun kenyataan tersebut dibarengi dengan fakta tiadanya cetusan besar dan baru dalam pemikiran pembaharuan Islam. Kelompok-kelompok liberal dan progresif pasca-generasi Nurcholish dan rekan-rekan seangkatannya, meminjam ungkapan Kuntowijoyo, sudah “kehabisan napas” untuk melahirkan pemikiran baru, dan hanya disibukkan dengan “mengunyah-ngunyah” pemikiran generasi pendahulu mereka.

Pemikiran dan gerakan pembaruan Islam kini kurang memiliki gerak langkah yang jangkauannya jauh ke depan. Bahkan terkadang berada dalam domain repetisi dari pemikiran pendahulunya. Generasi Nurcholish dan kawan-kawan memiliki perhatian pada isu-isu besar, seperti sekularisasi, demokrasi, relasi Islam dengan negara, dan seterusnya. Generasi setelah Nurcholish memang dapat menelurkan gagasan-gagasan segar, tapi lebih merupakan penjabaran secara lebih detail atas ide-ide besar yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Nurcholish, Wahib, atau Wahid.

Kebutuhan pada sebuah gagasan konstruktif tentang sasaran dan strategi pembaharuan Islam ke depan juga sangat mendesak. Sejumlah persoalan seperti yang disinggung di atas memperlihatkan bahwa para pembaharu masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah. Dan itu menuntut adanya suatu upaya mendefinisikan gerakan pembaharuan secara lebih tegas dan terarah.

Dalam kaitan dengan ini, perlunya penyegaran pembaharuan Islam setidaknya diarahkan pada sasaran berikutnya. Pertama, kelompok pembaharu perlu mendefinisikan kembali mengapa pembaharuan penting dalam konteks kini. Aspek ini penting untuk menyusun suatu visi pembaharuan Islam yang benar-benar berorientasi para pembaharuan umat ke depan.

Kedua, para pembaharu perlu menegaskan siapa sebenarnya yang menjadi sasaran pembaharuan Islam. Aspek ini menjadi kelemahan utama pembaharuan Islam. Seperti diutarakan Geertz (1965), kesulitan utama yang dihadapi pembaharuan Islam adalah absennya target-target yang dapat diidentifikasi. Dalam Islam tak ada, misalnya, supremasi kependetaan seperti dalam agama Kristen, yang kemudian menjadi sasaran reformasi gereja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar