Senin, 22 Agustus 2011

Demokrasi, Kecewa dan Harap

Sumber: Tempo, 18 Mei 2009

Demokrasi Indonesia di mata sejumlah pakar. Buku ini berisi perdebatan intelektual di ranah politik yang selama sepuluh tahun terakhir jarang kita dapati.

Demokrasi dan Kekecewaan
Penulis: Goenawan Mohamad, dkk.
Penyunting: Ihsan Ali-Fauzi & Samsu Rizal Panggabean
Penerbit: Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad), Yayasan Paramadina, 2009
Tebal: xvi + 100 halaman

KETIKA politik jatuh menjadi semata-mata persaingan rutin mengejar kuasa dengan berbagai cara, demokrasi jadi nasib buruk yang tak dapat ditampik. Ulah para anggota DPR yang korup, politikus yang hanya berkhidmat kursi, dan partai-partai yang terlampau egoistis mengejar kepentingannya membuat harapan pada demokrasi jadi retak.

Demokrasi dan bagaimana kekecewaan terhadapnya dirumuskan, itulah yang muncul dalam buku Demokrasi dan Kekecewaan. Sampul buku ini menegaskan kekecewaan itu sembari mengejek: memajang poster kampanye sejumlah calon anggota legislatif dengan aneka gaya, dari superman sampai rocker. Itukah hasil demokrasi kita?

Demokrasi dan Kekecewaan bermula dari orasi ilmiah budayawan Goenawan Mohamad dalam acara Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML), di Universitas Paramadina, Jakarta, 23 Oktober 2008. Orasi yang kemudian mendapat tanggapan dari sejumlah intelektual: R. William Liddle, Rocky Gerung, Samsu Rizal Panggabean, Dodi Ambardi, Robertus Robet, dan Ihsan Ali-Fauzi.

Dalam orasi ”Demokrasi dan Disilusi”, Goenawan seperti mengumandangkan kekecewaan banyak orang terhadap demokrasi yang: (1) tak mungkin mewakili semua aspirasi karena berdasar pada konsensus, dan (2) tak membuka peluang alternatif-alternatif baru. Apa yang masih tersisa lantas?

Goenawan mendakwahkan untuk selalu setia mengembalikan politik sebagai perjuangan (la politique—Robet menerjemahkannya sebagai ”yang politis”, yang muncul dalam peristiwa-peristiwa besar, seperti Reformasi), melalui perundang-undangan dan partai atau justru melawannya. Sedangkan Rocky menganjurkan untuk terus-menerus meradikalisasi demokrasi, agar toleransi, keadilan, dan civil liberties dapat terpenuhi.

Goenawan menunjuk biang kemandulan demokrasi itu pada ”kurva lonceng”: bahwa sebagian besar orang tak menggandrungi perubahan yang radikal dan ekstrem. Pada titik ini, ia seperti menyuarakan kritik kaum kiri tentang cacat bawaan demokrasi: ketakcukupannya untuk menghasilkan perubahan radikal.

Syukurlah, tak semua penulis dalam buku ini kecewa pada demokrasi. Liddle, Indonesianis paling berpengaruh saat ini, menyabarkan kita lewat sabda Weber: ”Politik adalah pengeboran kayu keras yang sulit dan lama.” Ia memberikan amsal pengalaman panjang Amerika Serikat berdemokrasi, sehingga seorang Obama, warga Afro-Amerika, dapat terpilih menjadi presiden. Liddle yakin, bangsa Indonesia bisa belajar dari sejarah Amerika, dengan mengoptimalkan aktor-aktor politik di dalam sistem: pemerintah pusat, partai, anggota legislatif, dan terpenting pemerintah daerah.

Optimisme yang terus terang diperlihatkan oleh Rizal Panggabean, dengan menunjuk tampilnya Indonesia sebagai kampiun demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Indikasinya: kekerasan agama dan etnis yang muncul menyusul jatuhnya Orde Baru teratasi, hak-hak politik dan kebebasan sipil terpenuhi. Meski, harus diakui masih terdapat sejumlah ancaman, seperti fundamentalisme keagamaan, ekstremisme, dan separatisme. Rizal membujuk kita merayakan demokrasi sekaligus menerima kekurangannya.

Sedangkan Ihsan, setelah melihat pengalaman munculnya partai-partai libertarian-kiri (”partai gerakan”) di Eropa, sampai pada kesimpulan setengah provokatif tentang perlunya membentuk ”partai gerakan” sebagai alternatif dari partai-partai lama sekaligus pendobrak bagi kebuntuan demokrasi.

Buku ini mengisi perdebatan intelektual di ranah politik yang selama sepuluh tahun terakhir jarang kita dapati. Sayang, beberapa artikel yang disajikan terasa bagai minum beberapa teguk air namun harus berhenti sebab gelas telah kosong. Kita berharap perdebatan itu hadir dengan argumentasi dan elaborasi yang lebih dalam. 

Boleh jadi, buku ini sekadar pembuka bagi perdebatan lebih jauh. Yang jelas, buku ini telah mengingatkan kita untuk terus mengikhtiarkan substansi demokrasi, dan tak hanya berhenti pada prosedur. 

Testriono, peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar