Rabu, 19 Oktober 2011

Involusi Pembaruan Islam

Sumber: Koran Tempo, 14 Oktober 2011

Testriono 
Peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

"Islam sekarang ini berada dalam keadaan beku," demikian catatan Moh. Shofan dalam "Quo Vadis Pemikiran Islam?" (Koran Tempo, 1 Oktober 2011). Tulisan itu melengkapi kegalauannya dalam artikel "Nasib Pembaruan Islam" (Koran Tempo, 22 Juli 2011), yang menyebut ihwal "... gagalnya intelektual liberal mengusung gagasan pluralisme, liberalisme, demokrasi." 

Penilaian pesimistis di atas lebih mencerminkan tilikan parsial yang terburu-buru ketimbang refleksi sosio-historis yang kritis atas perkembangan umat Islam Indonesia. Pasalnya, fenomena yang ada justru menyiratkan terus berlangsungnya gerak pembaruan. Muncul banyak muslim muda progresif dan liberal yang meramaikan diskursus pembaruan Islam. Tapi, di sini pangkal soalnya, pemikiran yang mereka kembangkan hanya melahirkan "involusi" dalam pembaruan Islam.

Gerakan pembaruan Islam yang dirintis oleh generasi Nurcholish Madjid--di antaranya Mukti Ali, Harun Nasution, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, dan Kuntowijoyo--telah memicu lahirnya kantong-kantong pembaruan Islam di berbagai kota di Indonesia. Banyak muslim Indonesia kini menapaki trek pembaruan Islam, terutama kebebasan berpikir dan sikap terbuka, yang fondasi dasarnya diletakkan oleh generasi Nurcholish. 

Sayangnya, generasi baru itu terlalu terpaku pada ide-ide besar yang dirumuskan generasi Nurcholish, seperti soal hubungan agama dan negara, sekularisasi, demokrasi, serta pluralisme. Mereka terjebak pada sekadar memberi "catatan kaki" atas ide-ide pendahulunya itu ke dalam gagasan yang lebih spesifik, seperti hak-hak minoritas, perkawinan antaragama, poligami, dan jilbab. 

Dalam konteks inilah involusi pembaruan Islam terjadi. Pemikiran dan gerakan pembaruan hanya berkembang semakin terperinci ke dalam, yang membuatnya tampak stagnan, nihil inovasi, dan absen dari terobosan. Involusi inilah yang dilihat Shofan sebagai kebekuan itu.

Institusionalisasi
Soal berikutnya terkait dengan sukses-gagalnya kelompok pembaru dalam mempromosikan pluralisme, liberalisme, dan demokrasi. Memang, salah satu tantangan besar para pembaru kini adalah model keberagamaan yang antipluralisme dan mengedepankan cara-cara kekerasan terhadap perbedaan. Sebagian dari kelompok yang digolongkan Khaled Abou el-Fadl sebagai "puritan" itu tumbuh menjadi radikal dan teroris. Tantangan seperti itu tidak muncul pada masa generasi Nurcholish. Selain karena represi rezim Orde Baru dapat menekan aktivisme kelompok radikal, generasi Nurcholish berhasil masuk ke sektor birokrasi dan mempengaruhi sejumlah kebijakan negara. 

Pelembagaan pembaruan Islam tersebut menjadi pokok yang membedakan pembaru generasi kini dengan pendahulunya. Liberalisasi pemikiran Nurcholish beroleh akselerasi lewat Yayasan Paramadina yang mengembangkan mulai kajian agama hingga universitas. Modernisasi Islam Mukti Ali berlangsung lewat jalur birokrasi, yang sebagai Menteri Agama ia merumuskan berbagai kebijakan modernisasi Islam dan kerukunan antarumat beragama. Institusionalisasi pembaruan Islam Harun Nasution ke dalam kurikulum UIN Jakarta melahirkan banyak cendekiawan muslim yang piawai menerapkan ilmu-ilmu sosial dalam mengkaji Islam. Transformasi sosial Dawam Rahardjo berhasil mengintegrasikan lembaga swadaya masyarakat dan pesantren dalam pemberdayaan masyarakat. 

Banyak anak muda muslim kini menyuburkan aktivisme pembaruan Islam lewat lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Sayangnya, tidak terjadi institusionalisasi di level pemerintahan seperti terjadi pada generasi Nurcholish, sehingga agenda-agenda pembaruan sulit masuk ke dalam kebijakan negara. Padahal, seperti dalam soal pembelaan terhadap kelompok minoritas, dibutuhkan dukungan regulasi negara yang tepat dan demokratis. 

Dinamika sosio-politik sejak reformasi 1998 dan bagaimana respons para pembaru inilah yang tidak ditangkap oleh Shofan. Transisi demokratis menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kelompok keagamaan yang menghalalkan kekerasan. Sementara itu, agenda kelompok pembaru seperti jalan di tempat karena kurang menyentuh level birokrasi pemerintahan. 

Kajian Islam
Kabar baik datang dari kajian Islam yang lebih empiris. Situasinya bertolak belakang dengan suasana pemikiran pembaruan yang adem-ayem. Taufik Abdullah (1987) menyebutkan dua pendekatan utama dalam studi Islam. Pertama, pendekatan kritis terhadap teks, dalam hal ini doktrin ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan sunah, termasuk studi atas karya para ulama klasik. Pendekatan ini melihat teks sebagai idealisasi dari situasi sosial dan memandang teks itu akan fungsional melalui interpretasi kontekstual. Pendekatan ini kerap mengintegrasikan studi agama, seperti teologi, tafsir, sufisme, dan fikih, dengan filsafat dan hermeneutika.

Keterbatasan pendekatan teks dalam menjawab persoalan umat yang makin kompleks melahirkan pendekatan kedua yang bertolak dari realitas sosial-historis: pendekatan ilmu sosial dalam studi Islam. Pendekatan ini bertujuan memahami hubungan antara ajaran yang bersifat universal dan masyarakat pemeluknya yang terikat ruang serta waktu.

Berbeda dengan pendekatan tekstual yang kini sepi dari cetusan gagasan besar dan perdebatan luas, studi-studi masyarakat muslim yang menggunakan ilmu sosial modern sebagai pisau analisisnya kini berkembang pesat. Muncul sejumlah sarjana muslim yang mengkaji Islam dengan pendekatan sosial, beberapa di antaranya Azyumardi Azra, Bahtiar Effendy, M. Syafi'i Anwar, Saiful Mujani, Ali Munhanif, dan Ihsan Ali-Fauzi. Sementara generasi Nurcholish baru pada tahap merintis pendekatan sosial itu, generasi penerusnya berhasil mendorong pendekatan tersebut menjadi arus utama dalam kajian Islam di Indonesia. 

Para sarjana muslim itu melakukan apa yang lazim dikerjakan ilmuwan sosial: merumuskan persoalan, menguji paradigma, mengembangkan teori, dan membaca gerak sejarah. Dengan menjadikan masyarakat muslim dan dinamikanya sebagai obyek kajian utama, pendekatan sosial tampil di garda depan dalam menemukan solusi bagi persoalan-persoalan sosial umat. Pada studi masyarakat muslim inilah optimisme pembaruan Islam kini bertumpu.

Memblokade Pasar Terorisme

Sumber: Koran Tempo28 September 2011


Testriono
Peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta



Aksi terorisme kembali terjadi. Sebuah bom bunuh diri meledak di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton di Solo, Jawa Tengah, dan melukai puluhan orang. Aksi tersebut makin menegaskan bahwa kelompok teroris terus bermetamorfosis.

Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror M. Tito Karnavian menyebutkan telah terbentuk generasi baru terorisme. Sementara generasi pertama adalah kelompok inti Al-Qaidah dan generasi kedua mereka yang pernah dilatih kelompok inti Al-Qaidah, generasi ketiga adalah mereka yang tidak pernah dilatih oleh generasi pertama dan kedua. Mereka mengembangkan jaringan sendiri dan memperoleh kemampuan membuat bom secara otodidaktik (Tempo, 2 Mei 2011).

Meminjam analogi "pasar" dari Alan B. Krueger (2008), terorisme di Indonesia masih terjadi karena terpenuhinya aspek penawaran (supply) dan permintaan (demand). Berulangnya aksi terorisme menunjukkan organisasi teroris belum kehabisan stok martir: masih ada orang-orang yang rela mati demi ideologi radikal. Inilah sisi penawaran dalam pasar terorisme. Tapi suplai pelaku saja tak cukup. Keberhasilan terorisme ditunjang oleh adanya strategi (metode, target, dan waktu yang tepat), pendanaan, serta ketersediaan bahan peledak. Inilah sisi permintaan di balik aksi terorisme.

Sebagai pasar, upaya-upaya kontraterorisme akan berhasil jika aspek penawaran dan permintaannya dapat diblokade sekaligus. Menargetkan sisi suplai pelaku saja barulah setengah jalan. Langkah berikutnya adalah menghentikan sisi permintaan: membongkar rencana teror, memutus aliran dananya, dan mengungkap pasar gelap bahan pembuat bomnya. Inilah bagian dari strategi komprehensif yang mesti ditempuh negara untuk membendung terorisme.


Negara kuat
Dalam memblokade sisi penawaran terorisme, kita akui kinerja aparat keamanan relatif berhasil. Terhitung sejak tahun 2000 hingga kini, Densus 88 telah menangkap sekitar 700 teroris. Namun terus terjadinya aksi teror menunjukkan sisi permintaan terorisme belum terbendung sepenuhnya. Maka pintu transformasi radikalisme menjadi aksi teror masih terbuka.

Studi Krueger dan Laitin (2007) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat kebebasan sipil serta politik yang tinggi--di antaranya ditandai oleh adanya kebebasan pers, kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, dan pemilihan umum yang terbuka--menjadi lahan tandus bagi lahirnya teroris. Sebaliknya, negara-negara yang membatasi hak-hak demokratis mendorong kelompok radikal memilih taktik kekerasan. Arab Saudi adalah contoh negara yang kaya tapi membatasi hak-hak demokratis warganya sehingga menjadi "kampung halaman" bagi para petinggi Al-Qaidah seperti Usamah bin Ladin.

Namun kebebasan sipil dan politik saja tidak cukup. Bangladesh dan Pakistan adalah contoh negara yang menyediakan hak-hak demokratis tapi menjadi tempat bagi berbagai aktivitas terorisme. Indonesia saat ini, contoh lain, meski menyediakan kebebasan sipil dan mengalami mobilisasi damai kelompok islamis lewat pembentukan partai politik, tetap melahirkan teroris. Mengapa itu bisa terjadi?

Di sinilah Francis Fukuyama (2004) benar: negara-negara lemah atau gagal menjadi akar dari banyak problem paling serius di dunia, mulai kemiskinan, AIDS, perdagangan narkoba, sampai terorisme. Negara yang lemah, secara tidak langsung, memberi peluang bagi kelompok radikal menggunakan kekerasan serta menjadi pintu masuk bagi kelompok teroris internasional untuk menyuplai uang, senjata, dan bahan baku, serta melakukan pelatihan.

Indonesia memang berhasil melakukan demokratisasi dan membuka pintu kebebasan sipil serta politik bagi warganya. Namun, dari sisi kapasitas, meliputi aspek penegakan hukum dan aspek pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, serta kesejahteraan sosial, Indonesia masih tergolong lemah. Menurut Indeks Negara Gagal 2011 yang dibuat per tahun oleh Fund for Peace dan majalah Foreign Policy, Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 177 negara. Peringkat itu jauh di bawah Malaysia yang berada pada posisi ke-112. Menurut indeks tersebut, Indonesia masuk dalam kategori zona bahaya.

Maka, selain menambah dosis demokrasi, pekerjaan rumah bagi pemerintah mencegah mobilisasi kekerasan adalah dengan mengefektifkan kapasitas negara. Seperti dikemukakan Julie Chernov Hwang (2009), ketidakmampuan rezim demokratis mengelola keamanan dalam negeri, menegakkan rule of law, dan melaksanakan cita-cita kemakmuran akan memicu mobilisasi kekerasan kelompok-kelompok radikal. Mereka akan memanfaatkan sisi lemah negara itu untuk melancarkan aksi-aksi teror mereka.

Demikianlah, seperti disimpulkan oleh Komisi Nasional atas Serangan Teroris terhadap Amerika Serikat (2004): "Kebijakan ekonomi yang buruk dan rezim politik yang represif hanya akan melahirkan masyarakat yang tanpa harapan." Dan, seperti terjadi di banyak negara lemah dan gagal, keputusasaan politik serta ekonomi menjadi daya dorong ampuh melakukan aksi teror. Maka, memberantas terorisme memang harus berjalan beriringan dengan upaya memperkuat rezim demokratis. Dengan demikian, tidak ada alasan dan peluang bagi kelompok radikal mengadopsi strategi terorisme.