Testriono
PENELITI DI PUSAT PENGKAJIAN ISLAM DAN MASYARAKAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA
Koran Tempo, Rabu 23 Mei 2012
Kekerasan terus menjadi bahasa intoleransi sejumlah organisasi massa Islam. Dengan klaim melawan ajaran sesat, mereka menghancurkan masjid dan properti milik minoritas Ahmadiyah. Atas nama mayoritas, mereka menutup pendirian gereja. Baru-baru ini, karena tak menyetujui orientasi seksual Irshad Manji, mereka membubarkan diskusi buku feminis muslim asal Kanada itu. Dan banyak lagi contoh lainnya.
Mereka menampilkan apa yang disebut oleh Ian Douglas Wilson (2008) sebagai "preman Islam". Mereka menggunakan pemaksaan dan kekerasan dengan memanipulasi sentimen serta isu-isu Islam untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka. Semestinya monopoli penggunaan kekerasan hanya milik negara. Sebab, negaralah yang, menurut konstitusi, punya wewenang menegakkan hukum dan keteraturan sosial.
Ada dua penjelasan mengapa kekerasan ormas terus terulang. Pertama, kapasitas negara yang memang lemah sehingga tanpa sengaja membuat wewenang monopoli kekerasan itu terbagi kepada sipil. Bahayanya, kata sosiolog Jerman, Max Weber (1946), tanpa ada institusi resmi yang mampu memonopoli kekerasan, negara akan runtuh dan muncul anarki.
Kedua, belakangan makin kentara bahwa yang dihadapi bangsa ini ternyata bukan semata negara yang loyo, tapi negara yang sengaja memberi peluang bagi kelompok tertentu mengintimidasi dan memberangus hak-hak kelompok lain dengan kekerasan. Pendeknya, meminjam parafrasa sejarawan Fernand Braudel (1966), "Di balik para bandit, ada bantuan dari oknum aparat negara."
Buktinya adalah sikap selektif aparat keamanan dalam menangani berbagai aksi kekerasan ormas. Polisi begitu tangkas menindak tegas jaringan terorisme dan narkoba. Tapi polisi bungkam terhadap ormas-ormas Islam tertentu yang mengancam dan menyerang kelompok lain. Karena itu, keliru menganggap aksi-aksi intoleransi yang belakangan marak itu sebagai aksi spontan yang tak memiliki dimensi logis. Alasannya jelas.
Pertama, aktor-aktor yang ambil bagian dalam kekerasan itu terlibat dalam organisasi tertentu, seperti Front Pembela Islam (FPI). Berbaju ormas, aksi kekerasan itu tentu bukan tanpa perencanaan. Ada instruksi, mobilisasi, dan strategi yang membuat aksi kekerasan tersebut berlangsung mulus.
Kedua, aksi-aksi kekerasan itu dilakukan karena ada peluang yang tepat. Sebagaimana temuan Julie Chernov Hwang (2009), ketika aparat keamanan mengambil tindakan tegas secara hukum, mobilisasi kekerasan akan berkurang. Tapi, ketika polisi diam saja, aksi kekerasan cenderung meningkat, seperti terasa belakangan ini.
Ketiga, para pelaku kekerasan, terutama para pemimpinnya, memperoleh keuntungan dari aksi-aksi yang mereka lakukan. Karena tak tersentuh hukum, para pelaku kekerasan itu semakin kuat secara sosial, ekonomi, dan politik. Organisasi mereka makin ditakuti dan berdaya tawar tinggi. Beberapa pejabat pemerintah, misalnya, kerap kali menghadiri acara-acara yang diselenggarakan oleh FPI. Dan bukan rahasia lagi jika ormas ini mendapat dukungan finansial dari makin banyaknya jasa parkir dan keamanan yang mereka kuasai.
Pemolisian demokratis
Celaka besar bagi bangsa ini bila benar negara bertekuk lutut pada kuasa ormas radikal. Pembiaran, dengan alasan kalah jumlah atau menghindari konflik yang lebih besar, membuktikan bahwa negara kalah menghadapi aksi kekerasan ormas. Mengikuti kehendak ormas, seperti membubarkan diskusi buku Irshad Manji di Salihara beberapa waktu lalu, hanya menjustifikasi adanya persekongkolan jahat oknum aparat dengan ormas radikal. Kriminalisasi korban, seperti dalam kasus Ustad Tajul Muluk, tokoh Syiah di Sampang, Madura, adalah pengkhianatan terhadap tugas polisi sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat.
Meski demikian, menghadapi maraknya kekerasan ormas ini, polisi harus tetap menjadi tumpuan harapan bagi tegaknya hukum dan keamanan. Sebab, merekalah satu-satunya institusi negara yang diberi wewenang menjaga keamanan dan ketertiban. Tapi harapan itu hanya mungkin terwujud jika polisi bersedia mereformasi dan mendemokratisasi dirinya, setidaknya dalam dua hal.
Yang paling utama adalah memperkenalkan dan melembagakan praktek pemolisian demokratik di tubuh institusinya. Lima prinsip yang mendasari praktek ini, menurut Nathan W. Pino (2006), adalah rule of law, legitimasi, transparansi, akuntabilitas, dan tunduk pada otoritas sipil. Demokratisasi terasa timpang karena institusi kepolisian tak juga melakukan langkah-langkah strategis menuju pemolisian demokratis.
Contohnya, sikap polisi terhadap kasus-kasus kebebasan beragama masih condong pada kepentingan kelompok yang mengancam keselamatan dan kebebasan kaum minoritas ketimbang melindungi mereka. Padahal semestinya polisi menjunjung tinggi rule of law, menjaga hak-hak individu yang dijamin konstitusi, bukan malah berpihak pada kelompok tertentu. Ormas radikal, perusuh, atau provokator akan mati kutu jika polisi menerapkan pemolisian demokratik ini.
Berikutnya adalah memperkuat pendidikan kepolisian dengan materi bina damai. Harus diakui polisi lebih terlatih menggunakan senjata ketimbang menggunakan cara-cara pasif dalam menyelesaikan konflik di masyarakat. Karena itu, melatih kemampuan memediasi bentrokan sosial secara damai dan menginstitusionalisasi pendidikan bina damai di tubuh kepolisian selayaknya menjadi salah satu fokus reformasi kepolisian.
Masyarakat sangat berharap aparat negara bergigi, dengan tampil tegas dan demokratis, dalam menghadapi aksi kekerasan kelompok-kelompok yang disebut oleh Buya Syafi'i Ma'arif sebagai preman berjubah agama itu. Dengan demikian, kita bisa yakin bahwa Indonesia bukan negeri para bandit, dengan sekelompok orang yang bisa bebas berkeliaran menebar ancaman dan kekerasan sambil meneriakkan nama Tuhan.
Sumber: http://koran.tempo.co/konten/2012/05/23/274919/Logika-Kekerasan-Berjubah-Agama